Sabtu, 26 September 2015

Wanita Yang Pernah Mencintaimu

Ini masih seperti musim semi yang kemarin. Meski banyak detak waktu telah berlalu, semuanya masih terasa seperti kemarin. Taman ini. Bangku panjang ini. Pohon-pohon ini. Bangunan-bangunan disekitar sini, belum ada yang berubah. Bahkan perasaanku pada laki-laki yang pertama kali ku temui disini pun masih sama. Perasaan ini masih sama seperti saat pertama kali ia memberanikan diri menggandeng tanganku. Degup jantung ini juga tidak jauh berbeda dari sejak pertama kali aku jatuh cinta pada teduh tatap matanya. Tetapi, sekarang, saat ini, kondisinya telah jauh berbeda. Laki-laki itu sudah bukan milikku lagi. Bahkan, dalam waktu yang sedemikian singkatnya, dia sudah bisa menemukan wanita lain untuk menggantikanku.


Penghianatan (Lagi)

Waktu aku kecil, bapaku sering ngajak aku ke suatu rumah seorang perempuan setengah baya di daerah kembaran. Meski aku sering main ke rumahnya, aku nggak tau sebenarnya dia itu siapa. Bibiku bukan, tetanggaku bukan, nenekku? Juga bukan (Jangan-jangan dia ibu peri). Bahkan saudara bapakku pun bukan.
Waktu aku udah agak gedean, aku baru tau kalo hubungan bapakku dengan dia adalah guru-murid. Bapakku ngajarin dia ngaji. Meski usianya udah setengah baya-an, dia baru mulai belajar ngaji. Seingatku, selama aku main disana aku nggak pernah tau sesi ngaji mereka. Mungkin karena aku sibuk sendiri dirumahnya.
Rumahnya sederhana, tapi teduh dan damai karena tumbuh-tumbuhan yang mengelilinginya.
Di depan rumahnya ada ada banyak bunga, yang sering aku petikin buat dibawa pulang (susahnya punya tangan jahil) (dasar tukang ngerusak).
Di setiap gawang pintu di rumahnya, ada tirai yang tersusun horizontal dari kerang-kerang kecil. Nggak lupa, aku juga minta beberapa kerangnya buat dibawa pulang hehehe. (Rampok aja semua yang ada dirumahnya fa -_- )
Selain karena dia sering ngupasin aku mangga yang manis, berlimpahnya bahan bacaan disana adalah sesuatu yang bikin aku mau buat diajak main ke sana. Di sudut kursi di ruang tamu, ada tumpukan koran yang menggunung. Saking banyaknya. Ini juga yang pada akhirnya bikin aku jadi orang yang suka baca. Aku selalu sempetin buat mengubrak-abrik koran disana. Dari sekian banyak koran, koran yang paling aku inget adalah koran yang ada gambarnya para pemain misteri ilahi indosiar. Entah kenapa itu jadi yang paling memorable di kepala. Mungkin gara-gara ada naga absurdnya.
Dia kepala sekolah. Jadi nggak heran kalo dia punya koleksi buku, majalah dan koran yang nggak sedikit. Waktu aku kecil, ketika aku menatap dia-entah dia sedang ngobrol dengan bapaku atau yang lainnya- aku tau ada sesuatu yang kuat dalam dirinya yang waktu itu aku nggak tau apa namanya. Belakangan aku tau apa yang dulu aku maksud sebagai sesuatu yang kuat dalam dirinya-feminisme. Feminisme begitu mengakar dalam dirinya. Mungkin itu jadi salah satu faktor yang membuat dia tidak menikah seumur hidupnya.
Rumahnya memang teduh dan damai, tapi ketika aku memasukinnya, tidak tahu kenapa perasaanku berubah. Rasanya hampa. Pengap. Dan kosong.
Mungkin karena rumah itu tidak ditinggali orang lain selain dia, tidak pernah ada anak-anak (selain aku), dan jarang ada pengunjung.
Untuk sebuah rumah yang hanya ditinggali sendiri, kamar di rumah itu terlalu banyak. Kalau tidak salah, ada sekitar empat, atau lebih.
Dia memutuskan untuk tidak pernah mempercayai laki-laki lagi dalam hidupnya setelah pernah dikecewakan.
Dia pernah pacaran dengan seorang laki-laki yang...hidupnya dimodalin sama dia. Bahkan dia membiayai kuliah laki-laki itu dan dia juga yang membayari buku-buku kuliahnya. Tapi apa yang dilakukan laki-laki itu setelah sukses? Laki-laki itu berhianat. Dia selingkuh. Kebenaran apa yang paling menyakitkan dari sebuah penghianatan? Tentang orang yang melakukannya. Penghianatan tidak pernah dilakukan oleh orang asing, tapi orang terdekat kita sendiri.

Dihantui Alphabet

Baru kelar satu masalah, muncul lagi masalah yang lain. Seakan datang dan pergi hanya untuk saling tukar posisi sebagai sang penguji.
Ketika aku udah bisa tidur dengan damai karena nggak sering kena paralyze lagi, palah datang ke-enggak jelasan gangguan tidur yang baru.
Belakangan ini, otakku lagi rada konslet. (Kalo ada temen smkku yang denger aku ngomong ini, mungkin dia bakal bilang, "perasaan udah konslet dari dulu.")
Kalo aku lagi kecapekan dan  banyak pikiran, aku sering mimpi diserang huruf alphabet. Huruf-huruf alphabet itu beterbangan kaya tawon dan ngerubungin aku. Mereka berputar-putar di sekitarku dan membuatku kebingungan. Aku tidak tahu apakah aku sedang bermimpi atau hanya berilusi.
    Yang lebih sering lagi palah aku mimpi lagi ngerjain soal. Oh Lord, please! Aku tidur buat melarikan diri dari soal, bukan buat ngerjain soal.
Aku terus menerus tegang saat tidur gara-gara serius memikirkan jawaban dari soal yang kukerjakan di dalam mimpi itu. Aku udah coba nginget-inget salah satu soalnya, tapi aku nggak berhasil. Yang aku inget dengan pasti, aku belum pernah mempelajari pelajaran itu sebelumnya. Ketika aku menjawab soal, dua sisi kesadaranku seperti terbelah. Sisi tidak sadarku memilih sebuah jawaban sekehendaknya seolah-olah dia telah menguasai topik itu sejak lama, tapi sisi sadarku selalu meragukan kemampuan  sisi tidak sadarku. Dia selalu berteriak, "Hei, kata siapa jawabannya itu? Aku bahkan belum pernah mempelajari materi itu sebelumnya, tapi bagaimana kau bisa sebegitu yakin kalau jawabannya itu!?"
Entah karena pura-pura tidak mendengar sisi sadarku, atau sepertinya dia memang tidak menyadari keberadaan sisi sadarku, ketika sisi sadarku mampu melihat kelakuan sisi tidak sadarku.
Sisi sadarku terus berteriak agar sisi tidak sadarku memikirkan dulu jawaban pilihannya tapi ia terus saja dengan santainya memilih jawaban-jawaban di kertas itu seakan-akan telah menguasai itu semua.
Bangun tidur jadi sering lebih dapet capek daripada dapet seger.
Aku juga sering ngimpi lagi baca artikel. Artikelnya itu artikel yang belum pernah aku baca sama sekali di dunia nyata. Dan setipe seperti waktu aku mengerjakan soal, sisi tidak sadarku terus membaca artikel itu, sementara sisi sadarku terus berteriak memintanya berhenti membaca karena dia tidak yakin tentang kebenaran isi artikel itu.
Aku menduga mungkin ini hanya refleksi dari pikiran bawah sadarku. Alam bawah sadarku ingin memberitahu padaku kalau dia adalah seseorang pemuda yang berdiri diatas kakinya sendiri untuk memperjuangkan apa yang dipegangnya, keyakinan. Dan alam sadarku berhasil meyakinkanku kalau ia hanya seorang tua konvensional yang terus mengekang kebebasan dengan aturan-aturan kaku yang terus coba ia pertahankan.

Minggu, 20 September 2015

Nggak Penting

Aku sering nggak habis pikir sama tipe ibu-ibu yang suka mendadak curhat sama stranger yang duduk di sebelahnya. Ibu-ibu itu bisa cerita soal hal-hal yang sifatnya pribadi banget yang kalo aku sendiri yang ngalemin nggak akan cerita sama siapapun bahkan ke temen deketku--apalagi orang asing. Apa akunya aja yang terlalu kaya gini jadi orang atau banyak orang yang merasa enggak apa-apa untuk cerita soal privasi mereka ke random people? Nggak tau aku, yang jelas--itu bener-bener not my thing. Aku sih nggak masalah kalo ibu-ibunya curhat apapun ke aku, palah jadi ada temen ngobrol di kereta, tapi kalo kebetulan stranger yang duduk disamping ibu-ibu tipe curhatan adalah bapak-bapak cuek gimana? Yang ada pas ibunya lagi melodramaan sama cerita hidupnya, bapak-bapaknya nyekip, "terus saya harus nangis guling-guling gitu bu abis dengerin cerita ibu?"
Dan untung aja, aku bener-bener real stranger. Gimana kalo ceritanya ibu-ibu tipe curhatan itu adalah seseorang yang sedang dalam pelarian kemudian duduk sebelahan sama aku, curhat soal rahasia-rahasianya ke aku. Padahal sebenarnya, tanpa dia tahu aku diam-diam dikirim untuk memata-matainya?
Temenku pernah bilang, kalo postingan blogku isinya nonsense. Nggak ada yang penting. Yah, emang. Justru kalau hal itu penting, aku nggak akan posting. Karena hal-hal itu nggak penting, makanya aku posting.

Rabu, 09 September 2015

Seorang Idealis yang Terinfeksi Realistis

Ketika aku mengalami kejatuhan yang sangat dihidupku, segalanya menjadi jelas. Bagiku setelah itu, tak ada yang terlalu penting dikehidupan ini.
Tidak cinta, tidak popularitas, tidak harta, tidak juga isi kepala.
Aku pernah ingin menjadi cantik seperti banyak perempuan lainnya. Tapi itu tidak lama, karena aku tersadar, nantinya wajahku bakal keriput juga.
Aku pernah ingin punya bentuk tubuh yang ideal seperti teman-temanku yang lainnya. Tapi itupun tak berlangsung lama, karena aku tersadar, nantinya aku akan jadi fosil juga.
Aku pernah ingin punya banyak teman. Tapi keinginan itu segera pudar begitu saja, karena aku tersadar, itu tak selalu banyak berguna.
Aku pernah ingin menguasai banyak hal. Tapi kini aku tak lagi menginginkannya, karena aku tersadar, itu hanya membuatku lelah saja.
Aku pernah ingin dicintai seperti para perempuan yang lainnya. Tapi itu hanya diwaktu-waktu tertentu seperti ketika aku sedang merasa gundah dan kesepian saja. Karena aku segera tersadar bahwa cinta sejati susah untuk dapat tumbuh subur di hati manusia yang didominasi kecemburuan, rasa iri, ketamakan, kesombongan, kebosanan dan niat untuk berpaling ke arah yang lainnya.

Tulang Rusuk

Apa kamu memang nyata?
Apa kamu benar-benar ada? Apa kamu akan tersedia untukku suatu saat nanti?
Tapi kapan?
Aku mulai ragu kalau untuk menganggapmu ada.
Aku mulai ragu kalau kau akan datang kehadapanku suatu saat nanti.
Jujur, aku lelah.
Lelah menantikanmu yang bahkan tak kutau,
kau orang yang seperti apa? hidup dimana?
hidup seperti apa?
Keraguanku pada kehadiranmu terkadang membuatku berpikir, jangan-jangan aku bukan tulang rusuk.
 Ketika kebanyakan perempuan lain adalah seonggok tulang rusuk yang tersesat dari tulang rangkanya, jangan-jangan aku adalah pengecualian.
Jangan-jangan, aku adalah tulang rangka yang berdiri sendiri.

(Bukan) Tokoh Utama

Nb: Ini adalah prolog Juniel dari draft tulisan yang aku bikin yang entah kapan bakal aku selesein dan bakal jadi printed book seperti yang sudah aku impikan sejak lama. Jadi penulis. Tapi aku pikir aku belum cukup kompeten buat jadi penulis. Huhuhu


Juniel PoV (Sudut pandang Juniel) :

Meski aku menjalani kehidupan dari sudut pandangku, aku selalu merasa bahwa di hidup keseharianku yang tampak seperti potongan serial drama ini, aku tak pernah merasa berperan menjadi tokoh utama. Meski aku ingin jadi tokoh utama, aku selalu berakhir dengan jatuh di serial drama orang lain dan hanya menjadi cameo disana. Figuran. Tokoh sampingan. Tokoh yang hanya kadang-kadang muncul dicerita dengan porsi yang sedikit dan tak diberi ending yang jelas seperti cerita milik tokoh utama.
Tidak peduli soal urusan romantika, perkuliahan, dan kehidupan sehari-hari, semuanya peran yang kujalani tak lebih dari porsi milik tokoh figuran, meski aku berperan di kehidupanku sendiri.
Meski begitu, kadang-kadang aku masih tergerak untuk mencari bukti. Bukti kalau aku adalah tokoh utama di kehidupanku sendiri.
Kadang-kadang aku bahkan mengetikkan namaku di mesin pencarian. Bukan apa-apa, hanya iseng. Siapa tahu suatu hari nanti namaku bisa muncul di urutan satu halaman pertama pencarian , tercantum dalam topik yang membanggakan. Tapi hari seperti itu sepertinya takkan pernah datang. Hari ini saja, namaku hanya baru bisa kutemui di halaman lima. Itu saja berkat daftar nilai ujian  tiap semester yang hanya bisa dilihat di internet. Tidak ada yang membanggakan disana. Aku hanya seorang mahasiswi bahasa yang biasa berada di peringkat kedua. Dari-bawah.
Aku hampir saja menyatakan diri sebagai tokoh utama di topik percintaan hidupku setelah menyadari kalau laki-laki dari jurusan sebelah yang kusukai sejak permulaan semester tak pernah tidak tersenyum ketika melihatku. Perempuan yang pernah berjuang bersamanya di hari-hari ospek. Dia laki-laki yang selalu tertawa dengan candaanku yang meskipun bagi orang lain terdengar garing di telinga. Orang yang tak pernah ragu-ragu untuk melambaikan tangannya padaku jika kami tak sengaja berpapasan di jalan. Dan tak segan mengajakku berbicara basa-basi di sela-sela perkumpulan unit kegiatan mahasiswa.
Tapi semua bukti yang mampu kujadikan acuan untuk menganggap diriku sendiri tokoh utama itu langsung terbantahkan ketika aku tengah dibuat menggigil oleh derai air hujan, lalu tiba-tiba saja melihatnya melintas didepanku sambil memboncengi perempuan di hari hujan. Perempuan itu melambai padaku, sambil memberi tanda dengan tangannya bahwa dia akan menghubungiku setelah ini. Jadi dia, laki-laki yang pernah dikatakan teman dekat perempuanku itu.
Di bawah tempat perlindungan hujan, aku menangis tak tertahankan. Kupikir kali ini, aku bisa jadi tokoh utama. Tapi tidak. Lagi-lagi, aku harus menjadi second lead female yang harus menyaksikan dua tokoh utama bersatu dengan hati yang patah. Ini tak ada bedanya dengan kisah cintaku yang kemarin, dan kemarinnya lagi. Dan aku sendiri tidak tahu, akan terus menjadi perempuan seperti ini sampai kapan.

The Dugeun-Dugeun

Karena kebanyakan orang single seumuranku yang merasa hidupnya flat berpikir bahwa ke-flat-an ini terjadi karena ketidakadaannya seseorang disisi yang mampu membuat hidup menjadi terasa menantang, aku juga jadi terbawa arus untuk mempercayai kalau penyebab ke-flat-an hidupku adalah sama seperti orang lain. Tidak adanya seseorang disisi yang mampu membuat dada ini berdegup. Tidak ada seseorang disisi yang mampu membuat perasaan ini meletup-letup.
Tapi jika aku mau mengkaji ulang hal itu lagi dan mencoba melihat dari cara pandang yang berbeda, aku bisa menafsirkan kalo kebosanan hidup yang kurasakan terjadi karena aku terlalu membiarkan hidupku diisi kekosongan.
Aku jadi berpikir, apakah perasaan berdegup saat jatuh cinta ada kemiripan dengan perasaan berdegup saat mau maju lomba? Karena jujur aku belum pernah merasakan degup jatuh cinta, tapi beberapa kali pernah merasakan degup jantung saat maju lomba.
Jika perasaan kosong dan hampa ini terjadi karena kerinduan untuk merasakan degup jatuh cinta lagi, rasanya seperti mengada-ada karena kenyataannya aku belum pernah merasakannya. Jadi  mungkin saja aku salah menafsirkan ingin merasakan degup jantung lagi seperti saat aku pernah mengikuti lomba dengan degup jantung saat ingin jatuh cinta.

Sekedar Curhat

Aku udah ngehapus link-link menuju blog ini di akun-akun sosmed yang aku punya dan gantiin dengan link tumblr,  gara-gara aku sadar kalo isi postingan di blog ini emang apa banget dan nggak penting.
Aku pengen ngucapin makasih banget buat temen-temenku yang pernah sekali dua kali nyempetin mampir di gudang sampahku ini waktu suwung dan nggak ada kerjaan. Meskipun nggak ada satupun dari mereka yang ninggalin jejak berupa komen atau apalah, seenggaknya aku masih bisa tau dari laporan statistik kalo ada yang berkunjung. Dan aku berterimakasih banget ke temen-temenku yang ngasih tau langsung ke aku dengan bilang, "eh aku baca blogmu loooh." Meskipun tanggepannya macem-macem,  ada yang bilang postinganku alay lah, gak jelas lah, ada yang bilang suka sama blogku dan ada juga yang mencibir gara-gara isinya cuma curhatan. Well, gak papa, udah pernah nyempetin main-main ke blogku yang banyak sarang laba-labanya di pojokan ruangan juga aku udah seneng kok, apalagi ngasih masukan-masukan. Kalo isi blog ini cuma curhatan, itu emang bener kok. Tujuanku bikin blog ini ya emang buat dijadiin tempat penampungan sampah yang udah terlalu menumpuk dan membusuk di kepala kalo nggak segera di buang di blog ini, bukan buat yang lainnya. Sebenernya aku bisa nulis diatas kertas dan disimpen buat diriku sendiri, bukan di posting di blog pribadi dan terkesan mengumbar aib kaya gini, tapi aku orangnya pelupa banget. Setelah nulis diatas kertas aku pasti lupa udah nulis di buku yang mana gara-gara tulisanku berceceran di buku tulisku yang banyak banget dan berakhir di kumpulan kertas nggak kepakai yang akan selalu bernasib di loakin sama ibu. Jadi aku nulis di sini, biar kapan-kapan(pas udah nenek-nenek mungkin), aku bisa buka-buka lagi, baca-baca lagi segala macam kefrustasian hidup yang pernah aku alami pas masih muda. Dengan nulis di blog, aku juga jadi bisa berka ca dari postingan-postinganku, apakah semakin bergantinya hari, aku masih menanggapi suatu masalah dengan cara yang sama atau aku sudah mampu melakukan pendekatan dari suatu masalah dengan cara yang sama sekali berbeda.

Senin, 27 Juli 2015

Linguistik dan Masa Lalu


                                                         (Credit picture to the owner).

Linguistik. Aku agak sebel sama mata kuliah itu. Merumitkan suatu hal yang sebenarnya sederhana. Tapi aku kemudian ngerti kenapa aku sekarang disesatkan di kelas linguistik. Kadang-kadang, tanpa kita sadari, apa yang terjadi di masa sekarang atau yang akan datang adalah imbas dari kehidupan kita di masa lalu.
Dulu waktu aku kecil, setiap kali mudik lebaran, keluargaku pasti berhenti di banyumas buat istirahat.
Aku bener-bener penasaran dulu, kenapa sih namanya banyumas? Jadi, setiap jeda perjalanan mudik, aku sering jalan-jalan di sekitar tempat yang ada genangan airnya, seperti soloran dan kali. Mengamati setiap soloran yang bisa kutemui. Tapi, warna airnya sama aja tuh, bening. Nggak emas. Terus kenapa namanya banyumas? Aku tanya sama ibuku, kenapa namanya banyumas, ibuku cuma bilang emang udah kaya gitu dari sononya. Pas aku tanya sama bapakku, dia jawabnya mungkin ada cerita rakyat yang menceritakan kalo dulu di daerah situ ada sungai yang airnya berwarna emas.
Di mudik lain hari, aku masih kepikiran hal yang sama karena belum menemukan jawaban.
Jadi suatu saat aku nitip temenku yang udah sekolah buat beli kalung imitasi berwarna silver di bapak-bapak yang suka jualan mainan di sd-sd karena aku belum sekolah. Aku beli kalung itu buat melakukan percobaan pada air soloran di banyumas.
Waktu kita berhenti di banyumas, kebetulan kita istirahat di tempat yang deket soloran. Meski soloran, airnya terbilang bening.
Aku turun ke soloran itu, berusaha nyelupin kalungku ke airnya. Setelah mencelupkannya, aku menunggu lama. Tapi tidak ada yang terjadi. Warna kalungnya tetep silver, nggak berubah jadi emas.
"Kamu ngapain disitu? Ntar jatuh!" teriak ibuku yang baru menyadari keberadaanku di dekat soloran.
Aku menjawab dengan begonya, "Aku cuma penasaran aja bu, apa kalo aku nyelupin kalung ini ke air di banyumas, kalung silver ini warnanya bisa  berubah jadi emas?"
Aku nggak tau apa yang ibuku lakukan setelah mendengar perkataanku itu. Mungkin dia lari pulang ke rumah sambil nangis, "Ya Tuhan, kenapa kau anugerahi aku anak sebodoh dia? KENAPA??? KENAPA!!!"

      Aku suka mengamati sekitar, dan itu membuat kepalaku penuh dengan pertanyaan. Kenapa begitu? Kenapa begini? Kenapa seperti itu? Tapi kemudian, lingkungan mengguruiku bahwa kebanyakan orang risih dengan orang yang banyak bertanya sepertiku. Katanya, banyak tanya itu kampungan. Katanya, banyak tanya itu menunjukkan kebodohan. Sejak saat itu, aku jarang bertanya pada orang. Aku mulai bertanya pada angin yang berhembus dan rumput yang bergoyang #halah
Bukan, bukan, yang bener aku mulai bertanya sama google.
     Aku disibukkan dengan kehidupan. Aku bahkan lupa pernah tidak bisa tidur hanya karena memikirkan makna nama banyumas, tapi sebuah tulisan di buku linguistik membawa ingatan itu padaku kembali. Kata pelajaran linguistik, sifat bahasa adalah arbiter, nama banyumas adalah hasil kesepakatan dari beberapa pihak dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan materi.

Buruk Sangka Sama Allah



Waktu aku masih jauh lebih bodoh daripada sekarang, aku pernah buruk sangka sama Allah.
Itu adalah ketika aku sudah terombang-ambing sedemikian parah setelah ujian nasional dan palah berakhir di sebuah sekolah yang bisa ku judge sebagai 'the worst school i ever attend' (dengan terlebih dahulu mengumpulkan banyak acuan-acuan sampai aku bisa menyimpulkannya demikian).
Dengan bodohnya, aku pernah marah dan bertanya-tanya, kenapa Dia melakukan ini padaku?
Apa Dia ingin menghukumku karena aku seorang hamba yang pembangkang?
Di madrasah saja, aku seseorang dengan watak tidak terlalu patuh pada sistem sekolah dan sekarang? Ia palah menempatkanku di suatu tempat dimana rata-rata siswanya kurang bermoral (Kebanyakan, tapi nggak semuanya. Alhamdulliah temen-temen sekelasku kebanyakan orang baik-baik. Yang perempuan sih, aku nggak tau kalo yang cowok. Aku nggak bergaul sama mereka.)
Dia menempatkanku disuatu tempat yang sangat mendukung seseorang untuk menjadi orang yang buruk-menurut sudut pandang kebanyakan orang.
Kenapa Dia palah menempatkanku di tempat seperti ini?
Apa Dia sengaja?
Sengaja membiarkanku menjadi orang yang jauh lebih buruk dari yang dulu-dulu? Apa maksudnya melakukan ini? Apa dia sudah malas denganku?
Malas pada hamba yang tidak tahu diuntung sepertiku ini?
Aku mulai mempertanyakan banyak hal, tetang arti, mempertanyakan tentang apapun yang kujumpai dihidupku. Mempertanyakan orang lain, mempertanyakan diriku sendiri. Mempertanyakan segala yang kulihat, segala yang kurasakan, segala yang kulakukan, segala yang kudengar dan segala hal yang sedang terjadi.
Aku terus saja menganalisis segala sesuatunya secara berlebihan. Aku bahkan sengaja sering membolos sekolah hanya untuk berpikir dan merenung di pojok kamar pengapku.
Aku kesulitan dalam menentukan apa yang seharusnya jadi prioritasku dan apa yang sebaiknya kuurus di belakang. Aku dan kehidupanku--sungguh berantakan.
Aku selalu melakukan sesuatu tanpa pernah benar-benar mengerti apa yang sedang kulakukan, apa arti dari yang sedang kulakukan dan apa imbasnya jika aku melakukan hal itu.
Sebenarnya, aku sudah berada di suatu tempat dimana aku bisa belajar apa yang sebenarnya sudah ingin kupelajari sejak lama, komputer. Tapi karena aku merasa frustasi dengan hidupku dan merasa berada di tempat yang tak seharusnya, aku jadi menjalani semuanya dengan setengah hati. Aku berangkat sekolah hanya untuk membubuhkan tanda tangan di kertas absen, tak lebih. Aku masuk sekolah, kadang-kadang, tapi tak ada yang benar-benar masuk ke kepalaku. Ketika pelajaran, aku lebih suka menatap keluar jendela untuk melihat awan dan ketika waktunya mengumpulkan tugas, aku hanya menurun pekerjaan temanku saja. Otak di kepalaku telah lama macet entah sejak kapan, aku sendiri tidak sempat menyadarinya.
Aku hanya baru sadar sekarang jika aku lulus dari sekolah dengan predikat hanya sekedar lulus. Aku tak kompeten di bidang apapun yang pernah kupelajari disekolah.
Ya, aku hanya buang-buang uang orangtuaku disana dengan tidak mendapat apapun disana selain sebuah ijazah dengan nilai yang tak bisa dibilang membanggakan. Tapi aku mendapat banyak hal berupa pelajaran kehidupan yang bagiku jauh lebih berguna untuk kehidupanku daripada nilai-nilai akademis yang tertulis diatas selembar kertas yang kata orang bisa ditukarkan dengan kemapanan di masa depan jika aku mencetak angka-angka yang bagus disana. Aku mendapat pelajaran-pelajaran kehidupan yang membuat persepsiku tentang kehidupan berubah beratus-ratus derajat. Tidak seperti bayanganku di awal masuk sekolah, semua keburukan yang kujumpai di lingkungan sekolahku dulu palah mengajarkanku untuk menjadi orang yang lebih bijak dalam menyikapi hidup.
Aku mendapatkan pengalaman hidup yang kupikir--mungkin takkan kudapatkan jika aku berada di sekolah yang 'bener' versi kebanyakan orang.
Mengantri wudhu dan mengantri memakai mukena sekolah di jam-jam shalat duha dan dzuhur adalah pemandangan yang biasa di madrasah tsanawiyah. Tapi ketika aku smk, aku benar-benar kakaget dengan mushola sekolah yang selalu kosong. Ada juga masjid di dekat sekolah. Ada beberapa anak laki-laki yang pergi ke sana, bukan untuk shalat jumat berjamaah, tapi untuk merokok berjamaah.
Ada 240an anak lebih di angakatanku waktu itu. Belum anak-anak kelas 2? Kelas 3? Tapi tidak ada orang yang bisa aku dan temanku temui di sana selain pak guru elektronika yang terkenal alim itu. Ke mana orang-orang? Kenapa mereka seperti ini?
Karena di madrasah shalat adalah hal yang dilakukan semua orang, aku jadi tak bisa mengambil banyak pelajaran dari itu. Tapi ketika di smkku, shalat adalah sesuatu yang hanya dilakukan oleh segelintir orang disekolahku, aku jadi mendapat pelajaran, aku termasuk orang yang cukup beruntung karena Allah masih memberiku hidayah untuk menganggap shalat itu penting.
Aku jadi sedih, bahkan aku adalah orang yang seburuk ini, tapi Dia masih saja selalu peduli padaku. Peduli pada siswa-siswi disekolahku. Tidak peduli orang seberapa buruk apapun aku ini, Dia selalu disana, mengabulkan semua hal yang kuminta, menghindarkan segala hal buruk yang sekiranya bisa menimpaku, menjagaku dari pengaruh buruk lingkunganku dan mendengar semua keluhan yang kusampaikan padanya tanpa kutahu.
Dengan pengalaman langsung, aku jadi memahami tentang pepatah yang mengatakan, tidak semua hal buruk membawa kita pada kesedihan dan tidak semua hal baik membawa kita pada kebahagiaan. Satu hal yang begitu kusyukuri dari semua hal buruk yang telah kulalui, aku jadi menyadari jika ternyata, Dia adalah Tuhan terbaik yang pernah kupunya.

Sabtu, 27 Juni 2015

The Absurd Sister [2]

Semester ini aku cukup stress. Sebelum kuliah aku nggak pernah jerawatan di pipi. Tapi kali ini, jerawatku banyak banget. Kalo aku lagi stress, aku perlu pulang ke rumah buat ngilangin stress. Tapi pas pulang ke rumah, terus baca-baca kertas uas adekku, aku palah tambah setress.


Pertanyaan nomor 3. Jika ayah sedang sakit maka perannya digantikan oleh...? Adekku jawabnya Paman. Astaghfirulloh, sejak kapan ibu ada main sama paman? -____-
4. Ringan sama dijinjing, berat sama di...? Adekku jawabnya gotong -___- Emang keranda mayat digotong? -___- 
Aku juga liat jawaban temen sekelas adekku dan jawabannya sama-sama digotong. Entah mereka punya ikatan batin atau apa .-.


Nomer selanjutnya. Gotong royong dapat mempererat tali...? Adekku jawabnya tiang. Temennya adekku jawabnya tali gantung. Temennya yang lain jawabnya tali temali. Ya amfuuun anak-anak ini -____-


16. Selain kerjasama di lingkungan sekolah, kerjasama juga dapat dilakukan di lingkungan...? Adekku jawabnya UKS. Kerjasama sama siapa di UKS? Sama betadine? -____- Jomblo terakreditasi A -___-


1. Birrul walidain adalah...? Adekku jawabnya Malam Yang Indah -___- Aku nggak nyangka adekku sepuitis itu :| Birrul walidain itu berbakti kepada kedua orang tua wey -____-


5. Rido Allah tergantung pada rido...? Adekku jawabnya palah rido malaikat -___- Kenapa gak rido roma aja sekalian? -___-


15. Bicaralah dengan orang tua dengan bahasa yang lemah...? Adekku jawabnya lemah gemulai. -___- Berasa tiba-tiba berubah jadi maho setelah baca tuh soal *jedoti2n kepala ke tembok*


Kiamat versi adekku. Matahari terbit di sebelah selatan.


20. Lingkungan sekitar harus di...? Rusak -___- ckckck anak muda jaman sekarang *elus jenggot*



5. Melihat teman berkelahi kita harus...? Adekku jawabnya membiarkan. Adekku mah orangnya gitu --"



8. Iqamah adalah tanda bahwa shalat akan segera...? Adekku jawabnya Dimadu :(
Shalat aja dimadu, apalagi kamu :'(


Jawaban macam apa itu -___-


Anak kecil aja udah berpendapat kaya gitu :|



Masa fakir miskin disuruh makan surat kabar -___-


Dasar adekku -___-

The Absurd Sister [1]




Adek perempuanku yang satu itu emang agak absurd. Dia anak kelas 2 MI yang naik tingkat jadi anak kelas 3 tahun ini. Dia suka pura-pura tidur kalo disuruh bapakku buat shalat. Tapi langsung bangun kalo film Adit dan bang Jarwo udah mulai. Dasar kembarannya bang Jarwo.
Dia juga suka ngambek kalo pas ngaji disuruh baca ulang ayatnya--ngambek karena dia ngerasa udah bener bacanya.
Karena nada ngomongnya yang keras, dia terkesan galak. Hobinya nonton sinetron menye-menyenya sctv. Suka protes sama sesuatu yang nggak sesuai sama apa yang dia ketahui. Selai  itu, dia juga alay. Dan jayus. Waktu dia tk, pas ada iklan tv tentang roti malkist, dia komentar, "ih kok malkis? Mirip sama nama temenku, Balkis."
Dia emang suka gitu. Kemaren aja waktu ibuku tanya tentang temennya yang namanya Kinanti, dia jawab, " Iya, Kinanti. Dipanggilnya Anti. Anti pecah."
Aku cuma yang -___,- emangnya dia ember? Anti pecah segala -___-
Biasanya kalo bapakku ngerjain prnya tapi kata-katanya agak aneh buat dia, dia bakal protes. Pilihan kataku waktu aku disuruh ibuku buat bantuin dia ngerjain pr juga pernah di protes.
"Ini yang mahasiswa sastra aku apa kamu heh? -____-"
Dia pernah beli kalung di pasar malem. Kalung yang bandulnya berbentuk huruf. Karena adekku namanya Amalia, harusnya dia pilih huruf A buat insial namanya. Tapi apa yang dia beli? Huruf P.
"Kamu kan inisialnya A, masa belinya P, nggak nyambung."
"Biarin. Ini tuh kepanjangannya pasar malem, Kan aku belinya di pasar malem, jadi aku belinya huruf P."
Alasan absurd -___-

Kemaren kata ibuku, waktu temennya nggak sengaja nemu diary dia pas main rumah-rumahan bareng, temennya nanya ke adekku, "ini diarymu?" Adekku ngelak, "Bukan, itu diarynya mbak Ifa kok!"
Wah wah wah dasar -____-
Waktu kita lagi nonton tv bareng dia curhat tentang ustadznya yang menurut dia lucu karena jenggotnya panjang dan suaranya kaya cowok di iklan hexos yang ngomongnya, "Mama, mau ini? Mau itu?"
Terus dia nanya, "Mbak, kemaren di pesantren kilat ada soal, Adam sama hawa diusir dari surga karena makan buah apa ya?"
"Ya Khuldi lah."
"Yaah, aku salah deh."
"Emang kamu jawabnya apa?"
"Adam dan hawa diusir dari surga karena makan buah jeruk."
"Li, cegurin aja mbak ke samudra hindia li :("

Penghianatan.




Kalau seandainya dahiku kaya layar sentuh hape android yang ada tombol-tombolnya, aku ingin menandai ingatan-ingatan menyedihkan di masa lalu dan membersihkannya.
Tapi isi kepalaku bekerja seperti komputer.
Meski aku telah menghapusnya dari direktori--ingatan ingatan itu--ia masih menetap di recycle bin.
Ingatan itu hanya seperti virus yang sedang dikarantina yang suka menggandakan diri--yang suatu saat akan kembali dan kembali lagi.
Dan seperti sebuah penghianatan--dimana bagian paling menyakitkannya adalah ia datangnya selalu dari orang terdekatmu, bukan dari pihak musuhmu-- pada perasaan, logika inilah yang mengundang ingatan menyakitkan itu kembali.

I Know That Feel, Bro!




Sebenernya aku nggak terlalu suka nulis. Tapi kalo aku nggak nulis, aku pasti bisa gila.
Sebenernya aku malu ketika tahu tulisanku dibaca orang lain.
      Misalnya, dulu waktu masih sd diaryku dibaca sama masku dan diceritain ke orang sekeluarga. Dan semua orang menertawakan tulisanku. Dititik itu aku bener-bener ngerasa malu dan pengen memutuskan untuk nggak usah nulis-nulis lagi. Padahal diarynya udah dikasih gembok, tapi sama dia, gemboknya dirusak.
Bapakku juga cerita ke mbakku kalau waktu aku kecil, dia pernah nemuin sobekan kertas di bawah lemari yang berisi tulisanku waktu dia lagi nyapu. Isi kertas itu tentang curhatanku kalau bapakku pilih kasih. Meski itu sudah belasan tahun yang lalu, anggapanku tentang itu tidak pernah berubah sampai sekarang, bagiku dia masih tetap pilih kasih.
Kemarin, waktu aku telepon ibuku, dia curhat tentang adekku yang baru keluar dari rumah sakit. Adekku itu emang udah suka nulis-nulis di sembarang kertas, dan setelah pulang dari rumah sakit, dia dikasih hadiah termasuk diary sama temennya bapakku. Disana, dia rutin curhat.
"Ibu baca tulisannya dia, lucu banget deh curhatannya. Dia suka nulis..." kata ibuku yang aku jawabi dengan oh, sebelum dia menyelesaikan perkataannya.
"kaya kamu..."
Deg! Dititik itu, rasa malu datang menyerangku lagi.
Sebelum ini, ibuku nggak pernah bilang kalo dia notice tulisan-tulisan acakku di buku-buku tulisku. Aku juga nggak pernah berpikir kalau dia bakal tau tentang itu.
Tapi wajar sih kalau dia tau, karena tulisanku bukan cuma ada di satu atau dua buku tulis, tapi sampe satu kardus lebih. Itu yang masih bisa aku buka-buka lagi di rumah, yang dulu-dulu, yang udah di loakin, mungkin udah di recycle dan jadi kertas-kertas kosong yang dijual di toko-toko kelontong lagi sekarang.
Entah ini hanya delusiku saja atau apa, tapi mereka, alphabet-alphabet itu terus saja mengganggu kedamaian hidupku. Mereka terus memasaku untuk menuliskan mereka. Tugasku hanya menulis, menggerakkan tanganku saja, karena yang sesungguhnya merangkai cerita adalah alphabet-alphabet itu, bukan aku. Meski begitu, ada hari-hari ketika aku malas, tidak mengikuti kemauan mereka dan memutuskan melakukan hal lain daripada menulis.
Ketika aku memutuskan untuk tidak mengikat mereka dalam tinta dan memenjarakan mereka diatas kertas-kertas, mereka seolah marah dan terus mendatangiku, seolah-olah aku pemburu hantu yang didatangi arwah-arwah penasaran yang dengan suka rela menyerahkan diri mereka padaku, bahkan memaksaku untuk membelenggu mereka disuatu tempat agar mereka abadi.
Aku jadi teringat sebuah film yang berjudul "Anonymus". Film itu berkisar tentang teori siapa sebenarnya Shakespeare itu. Dan di film itu, mereka mengambil teori yang menyatakan kalau Shakespeare adalah nama pena dari Edward, seorang dari kalangan kerajaan.
Disana, Edward sering dimarahi istrinya karena dia selalu duduk sepanjang hari hanya untuk menulis, menulis, dan menulis. Pada zaman itu, zaman Elisabethan, adalah hal yang tabu bagi seorang anggota kerajaan untuk menulis hal hal seperti naskah drama dan roman.
Dia mengatakan pada istrinya kalau dia sendiri juga tidak mengerti kenapa dia seperti itu. Jika dia berhenti menulis, huruf-huruf di kepalanya itu terus menghantui hidupnya sampai rasanya mau gila. Mereka terus memaksa untuk dituliskan.
Itu sama sekali bukan scenen yang sedih, tapi aku ingin menangis. Baru kali ini aku merasa ada orang yang mampu memahamiku. Jika aku bisa masuk kedalam layar notebookku, aku ingin masuk ke scene film itu, berdiri disamping Edward, menepuk pundaknya dan berkata, I KNOW THAT FEEL, BRO!

Jumat, 19 Juni 2015

MOS : Masa Orientasi Sialan [lagi]


                  Credit picture to the owner.

Hari berikutnya, kita dikasih seabreg tugas baru. Disuruh beli es yang identik sama identitas sekolah. Awalnya aku nggak ngerti, dan salah beli warna. Ternyata ada anak yang dapet bocoran dari kakak kelas yang nggak ngospek, kalo maksudnya suruh beli es yang warnanya biru, soalnya seragam identitas kita nanti warnanya biru. Kita juga disuruh bawa nasi kuning, sayurnya sayur rambut nenek lampir -yang aku dikasih tau sama anak yang dapet bocoran- kalo maksudnya adalah mi bihun. Bawa bola-bola jerawat yang maksudnya adalah onde-onde. Ah ya! Disuruh cari uang logam yang keluarannya sesuai tahun kelahiran. Aku nyari ke banyak tempat tapi nggak nemu yang keluaran tahun 1996, aku dapetnya palah keluaran 2001 sama bonus limaratusan kertas yang ada gambar kakak kelas yang ngospek.
Susah tau. Uang logam warna kuning yang seratus perak gambar prajurit naik sapi ato naik apalah itu juga kebanyakan keluaran tahun 1998. Yah, aku nggak nemu, akhirnya aku dihukum.
Clue yang salah bawa pas disuruh bawa nagasari. Aku juga udah mikir-mikir kalo nagasari tuh makanan yang lembek dari gandum pati yang dalemnya ada potongan kecil pisang terus dibungkus pake daun pisang, tapi menurut temenku bukan. Menurut dia kita disuruh bawa buah naga, ya udah akhirnya beli deh buah naga 2, harganya 30 ribu per buah. Ya ampun, apes. Ternyata bukan buah naga. Bener kaya apa yang aku maksud, nagasari yang itu. Udah duit melayang 60 ribu (anak kos), salah, dihukum, nggak doyan buah naga lagi. Huft.
Besoknya lagi suruh bawa apaan lagi ya, lupa aku, yang aku inget cuma bawa apel 2, kopi 4, aqua 2 botol, pas disekolah dikumpulin pake karung sama kakak kelas, abis itu apelnya dipotong kecil-kecil dibagiin ke kita, suruh makan. Sisanya dikorupsi sama mereka. Dimakan sendiri sampe buncit.
Kukunya nggak boleh panjang, sepatu sama tali harus item semua, kalo nggak bakal dihukum. Waktu itu kukuku belum dipotong, jadinya kena hukuman. Suruh gigit semua kuku panjangku sampe lepas. Dijemur di lapangan, suruh baris berbaris, suruh push up yang banyak, abis itu suruh tengkurap di atas tanah buat meregangkan otot dan...ini nih yang paling aku benci. Cium tanah. Sumpah aku benci banget kalo disuruh cium tanah. Iya aku jomblo, tapi ya nggak pake cium tanah juga kali!
Ada sedikit pembedaan diantara kami murid baru. SEDIKIT. Jadi yang cantik-cantik dibeda-bedain sama yang jelek-jelek. Karena tampangku dibawah garis kemiskinan, aku ngerasain pembedaan perlakuan di banyak hal.
Kalo baris-berbaris, aba-abanya sengaja disalahin sama instrukturnya. Kita nggak pernah ada yang kepikiran buat instruksi setiap kali aba-abanya salah. Akhirnya kita dimarahin ini lah anu lah itu lah.
"KENAPA NGGAK ADA YANG INSTRUKSI? UDAH TAU SALAH KENAPA NGGAK ADA YANG INSTRUKSI?!" Kakak dewannya tereak-tereak sampe mulutnya mau soak. Hening. Nggak ada yang jawab. Apalagi aku, lagi diospek palah aku ngantuk banget. Efek libur panjang setelah UN yang cuma aku gunain buat tidur dan males-malesan dari pagi sampe pagi lagi sih.
"WOY! DEK! KENAPA NGGAK ADA YANG JAWAB? PADA KEMANA HAH? TIDUR? IYA? TIDUR?! JAWAB!!!" Takut saya. Takut keluar naga dari mulut kakak dewannya. Kalo aku tidur terus kenapa? Masalah? Hidup-hidupku kok.
Ada anak cowok murid baru yang saking betenya diperlakukan semena-mena sampe dia teriak kayak kesetanan ke kakak kelasnya,"ANJING!!!" Aku cuma bisa ngelus dada dan menabahkan hati. Kenapa aku bisa ada tempat kaya gini? Sekolah macam apa ini?!
Bukan cuma dia yang emosi, aku juga kali. Tapi aku woles aja lah. Kakak kelasnya mau ngomong apa aja juga biarin dah. Nggak usah dengerin. Ngapain peduli sama kata-kata mereka yang nggak penting itu. Buang-buang waktu.
"Turun! Cium tanah!" Aku turun deh, nyium tuh tanah. Kesian banget, bibir virgin saya di renggut sama tanah.
Tanahnya cabul.
"CIUM TANAH YANG BENER! KATANYA CINTA SAMA TANAH AIR!"
Yeee, siapa bilang? Daerahku palah penjual tanah air. Genteng maksudnya. Kan terbuat dari tanah sama air tuh.
Nggak mikir nih kakak kelasnya. Apa yang namanya cinta tanah air harus nyium tanahnya? Oh, kalo gitu berarti kalo kepala sekolahnya lagi pidato pas upacara, "Para guru yang saya hormati dan murid-murid yang saya cintai..." kepala sekolahnya turun dari mimbar terus cium muridnya satu-satu? Enak bener. Cinta tanah air? HAHAHA. Sekolah paling jelek sekabupaten ngomongin tentang cinta tanah air? HAHAHA. Gemes. Apa yang udah kamu lakuin ke negara ini sebagai wujud cinta tanah air kak? Hamilin anak orang yang notabene adalah menciptakan generasi penerus bangsa? [Smkku terkenal dengan banyaknya siswi yang hamil diluar nikah] Oh, bikin penerus bangsa baru ya? Wah, bagus sekali. #nyindir
Yang aku benci adalah, aku udah nyium tanah dengan segenap jiwa raga tapi palah...
"CIUM TANAH YANG BENER!!!" Kepalaku ditekan, diblusukin ke tanah. Dikiranya aku nggak bener nyium tanahnya. Sakit njir. Sakit banget hidung saya. Sialan, aku udah saking nurutnya mau nyium tanah palah diginiin. Hidungku kan gede, susah nempel ke tanah. Iya lah situ yang pesek gampang nyatu ama tanah, nah yang idungnya gede kaya saya?
Ada banyak hal yang terjadi di mos smk waktu itu, tapi hanya ini yang kuingat.
Satu kesan buat mos kali ini. Si-a-lan.

MOS : Masa Orientasi Sialan




Karena kita adalah orang yang selalu bersama diri kita sendiri setiap harinya, kita menjadi satu-satunya orang yang paling tidak menyadari kalau hari demi hari, kita berubah.
Kemarin waktu libur sehari, aku pulang ke rumah. Di kamarku aku menyempatkan diri buat ngobrak-abrik lemariku, nyari tumpukan-tumpukan buku tulisku jaman dulu yang isinya fanfiction sama curhatan gak jelas semua. Waktu baca-baca sambil menahan mual-karena saking alaynya-aku jadi menyadari kalau aku sudah banyak berubah. Akhir-akhir ini aku lebih suka nulis tentang perenungan kehidupan di buku catatanku. Waktu smp tulisanku hanya berkisar tentang curhatan cengeng. Sedangkan waktu smk, tulisanku terkesan menggebu-gebu dan penuh emosi.
10 Juli, 2011
     Mos adalah hal yang paling ngebetein saat tahun ajaran baru. Ini bukan ajang memperkenalkan siswa-siswi baru pada lingkungan sekolahnya yang baru, ini lebih menjurus kepada ajang balas dendam yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab [baca: kakak kelas] pada murid baru sebagai pelampiasan atas apa yang kakak kelas mereka lakukan pada mereka dulu.
Dan hal ini terjadi secara turun-temurun, seperti telah menjadi tradisi dan bagian dari kebudayaan bangsa. *halah* *palah jadi pelajaran pkn*
Di smkku, mos dilaksanakan selama 3 hari. Iya, 3 hari doang,  tapi disiksanya to the maxxx.
Disuruh ngapain aja pas mos? Disuruh jadi gembel. Ini nih, kenapa negara tercinta Indonesia nggak maju-maju. Ada sebuah sekolah yang mental generasi mudanya mental-mental gembel. Aku doang loh ya yang mentalnya gembel. Yang lainnya mah enggak, yang lainnya bagus-bagus -____-
Kita disuruh pake rumbai-rumbai pake daun kelapa yang masih muda alias janur. Kayak yang dipake penari hawaii gitu. ALALA HUHU~~~ ALALA HUHU~~~
Disuruh bikin kalung dari tali rafia, bandulnya pake dot bayi yang diisi sama es puter warna biru. Di samping kanan kiri dot, dikasih kencur. Sementara disepanjang kalung rafia dikasih buah bulet-bulet ijo namanya punca.
Topinya pake cething yang biasanya jadi tempat berkat kalo abis kenduri. Diatas cethingnya dikasih kipas buat hiasan. Gelangnya pake janur. Lengkap deh penampilan kita. Cerminan bangsa banget. Miskin.
Kebayang nggak sih itu janur dipake selama 3 hari, kering. Bikin badan gatel-gatel, kudisan, kurapan, panu, bisulan. *lebay ah*
Yang pake kerudung, brosnya pake sedotan, 7 warna, di pasang di sekeliling jilbab. Harus tujuh warna. Kalo kurang? Dinikahin sama  kakak kelas. Eh nggak ding, dihukum doang.
Yang nggak berjilbab dikuncir 7, kuncirannya di kasih sedotan.
Ditengah-tengah lapangan, aku tertunduk lesu dan sedih. Niatku kesini kan buat sekolah, bukan buat jadi gelandangan.
Sebenernya ini ide dari otak siapa sih, aku pengen ketemu sama yang punya ide. Pengen aku makan otaknya. Belum tau dia kalo aku zombie. Belum tau dia kalo sebenernya aku suka makan otak-otak.

Kamis, 18 Juni 2015

Langit Yang Lain



Jika hal seperti ini yang kau harapkan terjadi,
kenapa melibatkanku dalam roman picisanmu itu?
Ketika yang bahagia di cerita ini adalah kau dan orang lain, kenapa harus aku yang mengorbankan perasaan?
Harusnya kau katakan itu padaku dari awal.
Berkata padaku kalau kau meletakkan hatimu pada orang lain.
Sedangkan aku,
kau hanya menjadikanku jembatan yang mampu menghubungkanmu dengannya.
Harusnya kau tak melibatkan aku dalam percintaanmu dengan orang lain.
Tak perlulah kau memberiku harapan-harapan yang membuatku berangan-angan tentang kebersamaan kita di masa depan.
Harusnya aku juga memberitahumu sedari awal.
Tak perlulah mendatangi langitku jika pada akhirnya hanya  akan bersinar di langit yang lain.

PMR : Palang Merah Rese

Karanganyar, 2011

   



 Ngeliat surat undangan yang dibagiin dikelas tadi pagi, aku mendengus keras. Jalan malam untuk pengambilan topi dan slayer. Fiuh. Sebenernya aku males banget mau ikutan, tapi karena ancaman-nilai rapor tidak akan keluar bagi anak yang tidak mengikuti kegiatan ini- jadi dengan sangat terpaksa dan hati merana aku berangkat.
Jalan kaki 40 km bro, mampus nggak. Ini sekolahku judulnya doang yang modern, tapi dalemnya kok purba banget sih, bis juga ada. Pake acara jalan kaki segala.
Mana kelompoknya dipisah-pisah jadi nggak satu kelas satu regu. Terus cewek cowok dicampur. Ih, nggak suka.
Jalannya gelap. Aku kepisah dari rombongan gara-gara kebanyakan anggota kelompokku orang gunung jadi udah biasa mendaki gunung melewati lembah, bersama teman bertualang. Mungkin di kehidupan sebelumnya, mereka temennya ninja hatori.
Lah aku? Bangkit dari tempat tidur pas hari minggu aja males.
Aku sering minta istirahat. Menurut mereka kelompok kita baru jalan bentar aja aku udah minta istirahat mulu, manja. Tapi emang kakiku udah capek banget sumpah. Gak kuat jalan lagi-gempor kaki saya.
"Istirahat bentar please...kakiku gempor." Ketuanya cowok, kebetulan sekelas sama aku. Dia satu-satunya yang selalu setuju diajak istirahat. "Kalo istirahat dulu aja gimana?"
Tapi yang lainnya nggak ada yang setuju, mereka maunya tetep jalan terus. Yaudah, aku minta mereka buat jalan duluan, nanti aku nyusul.
Tapi mereka nggak bisa disusul. Saking cepetnya mereka jalan. Atau mungkin mereka nggak jalan, naik buroq kali.
Yaudah, aku kepisah dari rombongan, capek juga kalo terus-terusan ngikutin mereka. Sebelumnya aku minta tasku yang dibawain sama anak cowok, terus aku jalan sendirian. Jauh tertinggal dibelakang. Aku berasa kakek guru ahli silat berjenggot putih panjang yang udah berjalan terbungkuk-bungkuk dan butuh banget kayu buat menopangku berjalan.
Lagi sengsara-sengsara gini palah beberapa temen sekelasku yang pacaran sama kakak dewan bersliweran naik motor tepat didepan mataku sambil dadah-dadah.
Aku terjatuh di kedua lututku. Memandang langit dan berteriak, "Allah save me!!!" Tolong hambamu ini. Kirimkanlah sajadah terbang aladin atau sapu terbangnya heri poter atau naganya indosiar juga nggak papa lah.
Alay banget ya? Iya soalnya bagian teriak-teriak pada langit itu cuma imajinasiku doang. Yang bener aku terjatuh di pinggiran aspal yang terkoveri pasir laut. Aku udah nggak tau lagi mau ngapain. Aku berbaring sambil memejamkan mata disana. Terserah. Kelindes truk terserah, dibuang ke kali kalo ketiduran juga terserah. Terserah terserah terserah!
---♡---
      Serem banget duh. Gelap-senterku mati gara-gara kena air waktu halang rintang di sungai. Suasana tambah mencekam ketika ngelewatin sebuah jalan yang kiri kanan jalannya kuburan semua. Aku merinding. Dengan tangan gemetaran, aku ngambil botol minum di kantong samping tas. Berusaha menghilangkan rasa takut dengan minum air sebanyak-banyaknya.
Pas airnya udah abis aku taruh botol tupperwarenya di tempat semula. Tapi waktu aku melewati suatu tanjakan, botol itu jatuh di depan pintu masuk kuburan. Refleks, aku nepok jidat. Mampus!
Aku gemeteran. Andilau. Antara dilema dan galau. Ambil apa enggak ya botolnya? Ambil? Enggak. Ambil? Enggak.
Ah, nggak usah, ntar beli lagi aja.
Tapi, tapi? Gimana kalo tiba-tiba aku lagi jalan terus ada yang colek-colek pundakku.
"Mbak-mbak, ini ada yang ketinggalan,"
Padahal aku lagi PMS. "Apa sih, colak-colek, jangan ganggu aku deh, aku lagi capek, aku..."
Ternyata pas aku mengalihkan kepalaku kebelakang, yang nyolak-nyolek SETAN KEPALA BUNTUNG.
Aku mikir sampe kesana, jadi aku mutusin buat balik, ngambil itu botol. Daripada nggak aku ambil terus nanti ada hantu nyari-nyari aku buat ngembaliin tu botol gimana? Yaudah, aku mendekati gerbang pintu masuk kuburan yang horror itu sambil komat-kamit nggak jelas.
PLIS HANTU PLIS JANGAN MAKAN SAYA. SAYA NGGAK ADA DAGINGNYA BENERAN DEH NGGAK PAKE BOHONG! JANGAN BUNUH SAYA HANTU, SAYA JOMBLO, NGENES LAGI. HANTU NGGAK KASIAN SAMA JONES? PLIS! KASIHANI SAYAAA!!!"
Aku berusaha meraih botol itu, yang ternyata jadi amat susah karena efek gemetaran. Tak lama setelahnya, ada suara cekikikan seorang perempuan. Sontak aku terlonjak dari tempatku, buru-buru mengabil botol itu lalu kabur.
"Kuntilanak!!!" Teriakku.
Tapi kemudian, aku sadar kalau agak jauh dariku ada dua orang anak laki-laki yang tertawa ketika mendengarku berteriak kuntilanak.
Salah satu dari mereka mengerjaiku. Sial.

Sabtu, 13 Juni 2015

Nikah. N-nikah?




Ini cerita sedih. Meskipun itu hanya terjadi di dalam mimpi, tetap saja. Ini adalah cerita sedih (sok dramatis). Aku gak tau kenapa sampe bisa ngimpi aneh kaya gitu. Mungkin gara-gara nggak sengaja liat foto anaknya temen-temenku jaman smk yang udah nikah setelah lulus. Mungkin gara-gara seminar islam yang bahasannya nyrempet-nyrempet nikah yang aku hadiri kemarin. Mungkin karena lihat status bbm sepupuku yang bunyinya "aku pengen nikah" disaat status bbmku masih bertema "aku laper." Kami pernah taruhan soal siapa diatara kita yang akan menikah duluan.
Penyebabnya mungkin juga gara-gara obrolanku bareng temenku tentang nikah di warung bakso tempo hari. Atau palah karena acara main-mainku dan temenku foto-foto pake tag board bertuliskan 'your future husband' dan 'your future wife'. 

      Scene mimpi dimulai dari aku yang duduk di kursi paling depan di barisan tamu undangan. Kami serentak berdiri dan bertepuk tangan ketika kedua mempelai berdiri di panggung aula yang sekitarannya dihiasi bunga-bunga berwarna putih manis. 
Ya! hari ini salah satu teman kuliah sekelasku menikah. Siapa laki-laki yang akan segera berganti status menjadi suaminya- yang berdiri disebelahnya itu, aku tidak terlalu tahu. Yang jelas dia seorang dokter. Hanya itu yang ku tahu.
Dengan membawa seikat bunga yang akan dilontarkannya, ia tersenyum dengan cantik. Gaun pengantin putih berekor yang dikenakannya membuat pesonanya meningkat berlipat lipat persen.
Akad selesai. Aku berbaris diantara tamu-tamu yang akan menyalami kedua mempelai. Ketika giliranku menyalaminya, aku meremas tangannya dengan erat, kupeluk dia dengan gembira.
"Selamat untukmu! Aku turut berbahagia!" Pekikku dengan riang padanya.
Ia menyambut pelukanku dengan hangat.
"Terimakasih. Di hari pentingmu, kau masih menyempatkan diri untuk datang. Aku terharu."
"Ah, tidak juga." Aku mengibaskan sebelah tanganku. Hari pentingku katanya. Hari penting apanya? Aku mahasiswi yang sedikit kurang kerjaan. Dan tak punya hari-hari yang punya judul seperti 'hari penting'.
"Selamat juga untuk pernikahanmu!" katanya sambil menepuk-nepuk bahuku.
Alisku terangkat? Aku menatapnya dengan senyum aneh.
Selamat-juga-atas-pernikahanmu? Ahahaha. Dia mengejekku. Mentang-mentang dia sudah menikah, huh?
"Kamu bicara apa sih?" tanyaku masih tak mengerti.
"Kamu kan menikah juga hari ini. Kamu pikun atau kenapa?"
Oh.
Eh...
Tunggu.
A-apa katanya?
Aku-menikah-juga-hari-ini?
Ha. Hahaha. Jangan bercanda denganku.
"Lelucon macam apa itu?"
Dia menghela napas berat. "Dengarkan aku, nona! Hari ini, seharusnya, kita menikah di hari dan jam yang sama."
Dia lalu melanjutkan,"Jadi sebelumnya kita sudah saling bicara kalau kita tidak dapat menghadiri pernikahan masing-masing! Tapi...apa ini, aku ditelpon salah satu teman kita yang hadir di pernikahanmu kalau pernikahanmu sudah selesai  dan ternyata kau sempat datang di hari pernikahanku!"

H-a-h?
HAH?

Aku mengambil ktp dari dompetku. Disana, statusku  tertulis: menikah.
Aku membeku ditempatku. Berusaha meminta penjelasan tentang apa yang sudah terjadi.
Katanya, beberapa jam yang lalu, aku sudah resmi jadi istri dari seseorang dan dia tidak tahu siapa. Dan bahkan aku sendiri, tidak tahu siapa suamiku. Aku tidak tahu siapa yang telah menikahiku.
Aku berdiri dengan frustasi ditempatku. Apa-apaan semua ini?
Terang saja aku langsung menuju ke tempat dimana seharusnya aku menikah sekarang.
Tapi aula sudah kosong. Pernikahan telah selesai. Semua orang sudah pergi. Aku sudah menikah. Dengan seorang laki-laki yang entah siapa.

Minggu, 31 Mei 2015

BBB: Bukan Bolos Biasa




3 tahun sekolah di smk, tiga tahun itu juga aku kaya orang hilang arah. Aku lebih sering milih diam di rumah daripada berangkat disekolah. Merenung di pojok kamar, berusaha mencari makna kehidupan.
Waktu smk, aku milih ekskul wajib pmr. Aku mikirnya pramuka pasti capek dan pmr nggak terlalu, tapi ternyata sama aja. Ujung-ujungnya capek juga. Yang milih pramuka dikit banget, sementara pmr membludak. Padahal pmr bayar-bayar mulu kerjaannya. Kalo pramuka bayarnya paling 15 ribu 20 ribu, pmr 50-150an ribu. Kalo ada acara kaya jalan malem atau kemah, kalo pramuka kan paling cuma ngambil emblem atau apa, kalo pmr kan ada topi, slayer, sragam, celana pdl, terus tanda ikut ekskul pmr yang dipasang di seragam osis [yang bahkan nggak aku pasang dari kelas satu sampe lulus sekolah] dll.
Belom lagi pas iuran kas tiap pertemuan. Belum juga bayar denda kalo bolos pmr. Aku sering banget bolos pmr. Dan kalo bolos pmr, tiap hari kamis pas jam terakhir pasti ada kakak dewan yang masuk buat manggilin anak-anak badung yang akan dihukum karena nggak masuk pmr minggu sebelumnya. Dan disana, pasti ada nama saya jadi langganan hehehe. Karena pikiranku kacau, perasaanku kacau, sekolahku kacau, dan hidupku lagi kacau, aku ngambil keputusan sembarangan. Aku males harus dihukum mulu sampe sore tiap hari kemis. Jadi hari minggu aku bolos ikut ekskul  pmr, hari kamisnya aku bolos juga biar nggak dihukum. Wali kelasku sampe menunjukkan sikap nggak respect sama aku dan ngecap aku bandel. Tiap hari jumat aku dikepoin kenapa bolos mulu, ya udah, akhirnya kamis jumat aku sering bolos. Karena tanggung abis sabtu kan libur tuh ya, yaudah akhirnya kamis jumat aku bolos. Karena tanggung setelah sabtu kan minggu tuh ya, yaudah sabtunya aku bolos lagi. Jadi kamis, jumat, sabtu aku sering bolos. Gara-gara itu aku sering dipanggil BK, samle BKnya males ngurusin saya. YIHA~~~ Aku jadi nggak pernah dipanggil lagi ke BK. Kalo temenku bolos, biasanya mereka main game di warnet atau jalan-jalan sama pacarnya. Kalo bolos aku nggak pernah kemana-mana, ngurung diri di kamar seharian. Menekuni hobi yang nggak jelas juntrungannya, merenung, nulis, baca, dan tidur.

Datang!




Kau sungguh-sungguh percaya dengan omong kosong yang dikatakannya itu?
Ah, kenapa aku masih bertanya. Jelas-jelas bahasa tubuhmu terkesan seperti seseorang yang sedang menunggunya.
Meski kau tak mengakuinya, diam-diam kau menantikannya, kan?
Dia takkan datang, anyway.
Dia-takkan-datang.
Apa kau tahu?
Ini seperti kau tengah menunggu datangnya angin di sebelah barat, padahal kau tak tahu pasti, apa ia justru akan berhembus ke utara, timur, atau selatan.
Kau tak punya jaminan bahwa kali ini, angin berhembus ke arahmu, tapi kau masih berada disana karena harapan yang kau simpan, kan?
Harapan, kalau-kalau ia akan berhembus ke arahmu suatu waktu.
Kau akan berdiri disana, memikul harapan yang tak kelihatan, tapi ada. Kosong, tapi bermakna. Tak memiliki massa, tapi melelahkan ketika memikulnya.
Dan aku akan berada disini. Diam. Berdiri dan menontonmu, seberapa jauh kau mampu bertahan.

Rabu, 20 Mei 2015

You Don't Know Love




Tidak tahukah kamu?
Mataku memerah di ujung fajar kala itu,
Tidak juga mampu mengertikah kamu?
Tentang bagaimana perasaanku waktu itu,
Ketika kau berpamit padaku ingin pergi,
Dan setelahnya, sosokmu lenyap dipersimpangan jalan kala itu,
Aku melambaikan tangan ringan, menyegerakan diri berbalik badan.
Tapi, tidak tahukah kamu?
Aku berlalu dari jalan itu dengan tangis.
Kau tak pernah tahu hatiku. Bahkan mungkin saja,
Kau tak pernah tergerak untuk menanyakannya.
Senyum tipis yang kuulaskan sewaktu tanganku melambai sayu pada sosokmu hanya sebuah kebohongan.
Aku memang tertawa, tapi tak pernah benar-benar bahagia, sayang.
Aku memang menangis, tapi tak pernah sungguh-sungguh sedih, sayang.
Jiwaku terhempas diantara ribuan jiwa setiap harinya.
Tapi kurasa, aku sendirian saja.
Aku melewati jalan pulang yang sama setiap harinya.
 Berpulang ke tempat yang sama setiap harinya.
Tapi kupikir, aku tak pernah benar-benar tahu dimana aku berada.
Meski kau tak pernah tahu hatiku, kamu selalu menguatkanku.
Katamu, "Aku selalu berdoa untukmu.
Sejak dulu, dari kemarin, sampai sekarang, dan untuk selamanya."

Kamis, 07 Mei 2015

PMR: Palang Merah Rempong


Karanganyar, 2011



Ada dua ekstrakurikuler wajib disekolahku waktu smk, pmr sama pramuka. Aku nggak suka dua-duanya, tapi karena harus pilih satu atau dua, pilih aku atau dia yang engkau suka *palah nyanyi* akhirnya aku milih pmr. Dengan alasan, pmr  lebih nggak melelahkan dari pramuka. Tapi ternyata aku salah, pmr jauh lebih melelahkan dari yang kupikir. Lelah jiwa, lelah raga, lelah dompet juga, iurannya banyak banget beroh. Ketika pramuka cuma bayar puluhan ribu, pmr bisa narikin iuran beratus-ratus ribu.
Karena acaranya hari minggu, aku sering bolos pmr. Gara-gara itu, kalo ada acara outbond aku sering dimasukin ke kelompok khusus tukang bolos yang isinya cowok semua. Untung ya, untung ada temen sebangkuku yang -alhamdulillah wa syukurilah bersyukur padamu ya Allah-sama malesnya kaya aku, jadi aku bukan satu-satunya cewek dikelompok itu.
Setiap kelompok ada 10 orang. Dikelompokku-yang isinya anak-anak tukang bolos semua-ada aku dan linda, sementara sisanya laki-laki semua. Karena kita lelet waktu jalan, kita selalu ketinggalan dibelakang dan kepisah dari kelompok. Ibaratnya aku sama linda masih di bandara soekarno hatta, mereka udah nyampe pedalaman afrika. Di setiap pos yang kita datengin, anggotanya harus lengkap, jadi ketua kita bolak-balik jemputin kita di belakang ketika anggota yang lainnya udah membusuk dan jadi fosil di pos.
Buat anak-anak lain, pos yang paling nggak ngenakin adalah pos halang rintang. Tapi buatku, pos yang paling nggak ngenakin adalah...pos nebak bumbu dapur.
Kakak dewan : ini bau apa?
Aku : bawang?
Kakak dewan : bukan
Aku : brambang?
Kakak dewan : bukaan
Aku : kencur?
Kakak dewan : bukaaan
Aku : CABE, GAREM, LENGKUAS, KUNYIT, SELADAAA!!!
Kakak dewan : BUKAN BUKAN BUKAN BUKAAAAAAAAN!!!
Dua sesi aku jawabnya dan nggak pernah ketebak. Pasrah. Akhirnya sekelompok dianugerahi hukuman push-up dua porsi alias 50 kali. Duh, gara-gara aku. Kemarin-kemarin pas aku masuk kelompok yang anggotanya cewek-cewek semua aku ngerasa bersalah karena nggak pernah jawab bener di pos ini. Tapi karena kali ini anggotanya anak begajulan semua aku cuma siul-siul aja. *duakh*
Korsa! Hal yang paling nggak aku suka di acara beginian. Bayangin aja! Satu orang ngemut lolipop beberapa menit abis itu di estafet ke temen sekelompok! Dan aku orang kesepuluh di kelompok. Berarti aku harus ngemut permen yang udah diemut sama sembilan orang sebelumku. Gila. Bener-bener gilaaa! Mana aku sama linda doang yang cewek. Aku memijit-mijit pelipisku. Sakit kepala.
Orang pertama yang makan permen, enak, orang baru dibuka dari plastik. Yang kedua dan seterusnya, aqwsdkfkfjkl.
Waktu giliran linda, aku nggak bisa nahan ketawa. Cowok yang ngemut permen sebelum Linda itu ya Allah ya Tuhan!!! Orangnya kecil, namanya Heru. Nggak ngerti aku, dia udah nggak sikat gigi berapa abad. Yang jelas giginya yang rada tonggos itu udah berubah warna. Bukan kuning lagi, tapi ijo. Setelah ngemut permen, linda mual-mual, hampir nangis darah. Sementara aku hanya ngakak dalam diam. Sahabat sejati emang gitu ya, ketika yang satu menderita, yang satunya lagi ketawa.
Pas giliranku, aku cuma bisa memasrahkan hidupku pada yang Maha kuasa. Abis ngemut permen, aku pengen langsung kramas dibawah shower sambil nangis. Tapi nggak bisa, soalnya ini di gunung. Mulut virginku ternodai hiks hiks hiks.
Blueh. Blueh. Apa itu tadi? Permen rasa jigong.

Jumat, 01 Mei 2015

Entah

18 Juli, 2011

     Aku tengah terduduk dalam diam, memandangi bintang dari ventilasi didekat tempat tidur bertingkat asramaku. Entah apa yang sedang kupikirkan, aku sendiri juga tidak tahu. Yang ada hanya bayang-bayang kelam masa lalu, pengapnya kesempitan masa kini, serta tak jelasnya gambaran tentang masa depan.
Hidupku hanya kehampaan. Aku tak tahu untuk apa sampai saat ini aku masih melewati hari-hari dari minggu sampai sabtu. Yang aku tahu, sekarang aku dalam perjalanan untuk mencapai sesuatu yang disebut kebahagiaan. Sedang aku sendiri tak tahu, apa dan bagaimana wujud kebahagiaan yang sedang kucoba perjuangkan itu.

Jumat, 24 April 2015

[Monologue]Overwhelmed

Overwhelmed song belongs to B1A4's Gongchan and Sandeul. But, this monologue is mine.

       Credit picture to the owner.


OVERWHELMED

   Aku sendiri juga tidak mengerti. Tidak mengerti tentang bagaimana perasaan itu menjadi semakin meluap-luap dari hari ke hari.
Hari-hari ketika perasaan ini terus mendesak memaksa pergi, ke arah dimana sekiranya aku bisa menemukanmu. Hari-hari ketika kerinduan itu menjalar semakin parah, meski aku telah melihatmu sepanjang hari. Tanpa kusadari, langkah-langkahku menyeret tubhhku pergi, menujumu.
Apa yang seharusnya kulakukan?
Tanpa tahu apa yang harus kuperbuat, hanya saja perasaan ini membuatku canggung.
Meski mata ini tak kunjung mengalihkan tatapannya darimu, sudut hati ini masih saja terus merindukanmu.
Kehadiranmu disekitarku selalu membuatku beku.
Tak peduli sekeras apapun aku mencoba menunjukkan perasaanku, itu semua tak ada gunanya. Sama sekali tak ada gunanya.
Merindukanmu bagaikan lautan perasaan tanpa dasar. Aku telah berusaha mengurasnya, tapi perasaan ini palah semakin meluap dari hari ke hari. Bahkan ia berbisik berulangkali, kalau dia akan tetap merindukanmu, merindukanmu, dan merindukanmu.
Merindukanmu bagai terjebak di masa lalu. Tidak peduli sekeras apapun aku berusaha menghalanginya, itu semua tidak ada gunanya. Takkan ada gunanya.
   Kadang-kadang, kata yang kau ucapkan-apapun itu, seremeh apapun itu-mampu membuat perasaan ini diam-diam meluap-luap.
Kadang aku berpikir, akan seperti apa hidupku jika aku tak pernah mengenalmu?
Dulunya, aku tak pernah tersenyum sesering itu.
Setelah hadirmu dihidupku, aku berubah banyak. Aku terus saja tertawa ketika mengingat hal-hal tentangmu, meski itu bukan apa-apa.
Entah bagaimana, kamu terus saja menetap dipikiranku.



Selasa, 10 Februari 2015

Masih Dunia Lain



5 September 2013

       
Sudah berganti status dari siswi SMK kelas dua menjadi siswi SMK kelas tiga tapi keadaanku masih gini-gini aja. Sampai sekarang, belum ada yang berubah sejak pertama kali masuk ke SMK swasta ini. Entahlah, semenjak masuk ke sekolah ini aku mulai kehilangan segalanya. Kehilangan kepercayaan diriku, kehilangan ambisi-ambisiku, kehilangan harapan-harapanku. Semuanya. Bahkan, aku udah nggak inget lagi cita-citaku mau jadi apa. Apa tujuan awal hidupku, aku juga udah lupa sama sekali. Aku depresi berat dan masih berusaha untuk bangkit sampai sekarang. Rasanya seperti di dunia lain.
Aku tidak sedang membahas program televisi horror yang jika  saya udah nggak kuat lagi uji nyali, saya bisa melambaikan tangan pada kamera sebagai pertanda menyerah, dimana para kru kemudian akan datang buat nolongin saya. Bukan. Bukan itu. Saya lagi ngomongin tentang sekolah saya yang bagi saya terasa seperti berada di bagian dunia yang lain. Meskipun saya sudah menyerah sejak lama. Walau saya udah enggak kuat sejak dulu, melambai-lambai minta tolong kemanapun nggak akan ada gunanya. Nggak akan ada yang datang menolong. Nggak akan ada pahlawan sejenis kesatria garuda yang tiba-tiba datang buat membawa saya lari dari dunia lain itu. Karena pada kenyataannya, disini, di sekeliling saya, nggak ada kamera tersembunyi dan nggak ada kru-kru yang ngawasin saya dari jauh jika saya kenapa-kenapa.