Sabtu, 27 Februari 2016

Curhat Colongan

Udah lama nggak apdet blog gara-gara ngerasa kalo aku terlalu mengumbar aib kehidupanku tiap kali mosting curhatan di blog. Cuma bisa nulis-nulis gaje di aplikasi penyimpen catetan, tapi rasanya kurang lega aja karena cuma disimpen sendiri. Kalo aku nulis di blog, seenggaknya lembar-lembar dunia maya itu mau nampung curhatanku tanpa ngejudge kehidupanku.
Akhir taun ini aku lagi pengen banyak-banyak introspeksi.
Aku dikasih tau temenku kalo salah satu temen yang sudah kuanggap sebagai 'teman baikku' membicarakanku didepan orang lain kalau aku orang yang suka mereka-reka, berlebih-lebihan kalau sedang bercerita tentang kehidupanku pada teman-temanku. Kata dia, apa yang ku katakan tentang kehidupanku tidak sesuai dengan kenyataan. Kalo ditanya gimana perasaanku, jujur, aku sedih. Sedih karena dia nggak mengkomunikasikan aja langsung ke aku. Aku sudah terlanjur berasumsi bahwa selama ini kita adalah teman baik.
Aku introvert. Susah banget bagiku untuk bisa jujur dan terbuka sama orang lain tentang hidupku kecuali aku udah ngerasa kalo aku dan dia  udah jadi teman yang lumayan dekat. Tapi pas aku cerita, aku palah dikira bohong. Tidak apa jika ada yang menganggapku pembual atau semacamnya, siapapun berhak untuk mengatakan apapun karena kita punya hak bebas berpendapat. Tapi setidaknya, katakan didepanku. Agar aku tahu salahku dimana, kurangku dimana, agar aku tahu apa yang perlu kuperbaiki dari diriku. Bukannya membicarakanku didepan orang lain. Aku takkan mengerti dan takkan sadar dimana kesalahan yang perlu kuperbaiki. Membicarakanku didepan orang lain takkan membuatku tersadar untuk melakukan perubahan sikap.
Kalo misalnya aku pembual, berarti aku pembual yang bego banget dong, ya? Karena aku terus bercerita soal betapa ngenesnya hidupku selama ini. Jomblo sejak lahir lah. Nggak punya temen deket di kosan lah. Selalu dapet nilai pas-pasan waktu ujian lah. Kalo aku pembual yang ulung, harusnya aku cerita yang wah-wah aja dong ya ke temen-temenku? Harusnya aku membual tentang punya banyak mantan-mantan kece yang tersebar di seluruh Indonesia aja, bukannya jadi jomblo hilang arah dan tanpa tujuan. Tapi aku palah sering cerita kalo orang yang aku suka selalu berakhir jadian dengan sahabatku. Kalo aku membual, berarti aku pembual yang bego banget kan ya? Harusnya aku membual kalo diluar sana ada cowok setamvan siwon, seswaggy G-Dragon dan sekaya Bon Jovi, sesetia Hachiko, sekece Zayn Malik, sealim ustad Felix yang mau nungguin aku sampe kapan aja dan bakal menikahiku suatu saat nanti. Tapi apa yang selalu aku bilang ke temenku? Aku sering bilang, mungkin aku nggak nikah kali. Soalnya aku nggak ada siapa-siapa disekelilingku yang sekiranya bisa diajak bangun rumah tangga kapan-kapan.
We, human, are fake creature. Aku sadar, sekeras apapun manusia berusaha jadi orang baik, pada akhirnya manusia tetaplah manusia. Punya iri hati, sisi gelap, kedengkian, ambisi, cita-cita, banyak lah. Aku sendiri nggak mengingkari kalau aku punya banyak sisi gelap yang sejatinya-jika aku hidup di dunia fantasi-ingin sekali kuwujudkan. I wanna be a villain so badly. Karena aku benar-benar muak menjadi diriku yang sekarang. Yang hidupnya terombang-ambing tanpa arah dan tujuan. Yang terus-terusan menjalani kehidupan ini ala kadarnya tanpa banyak berusaha seperti orang-orang lain. Aku benci diriku sendiri.

Kau, Aku dan Perasaan Ini

Aku ingin tertawa. Tidak tahu kenapa, rasanya lucu saja bagiku. Rasanya seperti baru kemarin, kau dan aku berebut buku perpustakaan,
berebut sapu piket,
berebut bangku untuk duduk. Kau dan aku--maksudku 'kita' pernah berebut banyak hal.
Aku masih ingat sekali betapa isengnya kau waktu kita masih sering bersama-sama di kelas tingkat pertama. Saking kesalnya aku  terhadapmu,  aku sampai memukul punggungmu dengan buku cetak tebal dan merasa begitu menyesal telah melakukannya: karena hari setelahnya, kau jatuh sakit.
Kau selalu menggangguku, mengganggu tentang apapun yang sedang kukerjakan.
Kau merebut bolpoinku ketika aku sedang menulis.
Kau menyembunyikan tip-xku dengan sengaja ketika aku sedang benar-benar butuh. Saat itu aku merasa, kau benar-benar anak laki-laki sok pendiam di depan orang lain, tapi super menyebalkan ketika di depanku.
Jadi aku mencoba mengacuhkanmu, dan aku tak menyangkau kalau karena sikapku itu, perlahan hubungan pertemanan kita mulai jadi jauh.
Kau selalu berusaha buang muka jika berpapasan denganku di jalan, dan aku, sebagai seorang perempuan, tak mungkin ada niatan sama sekali untuk menyapamu duluan.
Selanjutnya, kita benar-benar seperti sepasang orang asing yang tak pernah saling mengenal.
Ketika tiba waktunya kita naik ke kelas tingkat kedua, saat aku tak lagi berada satu kelas denganmu, entah kenapa tiba-tiba saja aku mulai merasa aku merindukanmu.
Dari awal kita berteman, aku selalu merasa kalau dari sekian banyak teman perempuan yang kau punya, aku hanya salah satu dari teman biasamu yang lainnya. Meski kita berada di kelas yang berbeda setelahnya, aku masih sering memikirkanmu. Tapi disisi lain, aku tidak yakin kau pernah memikirkanku juga. Karena ketika kita bertemu, aku selalu jadi orang yang menunggu, tapi kau tak pernah tergerak untuk menyapaku lebih dulu. Aku ingin kau teringat padaku sesekali. Itulah kenapa dulu, aku selalu berusaha untuk berada di peringkat atas, Hanya agar namaku bisa tampak di matamu.
Kau tahu tidak?
Aku pernah memimpikan hal ini sebelumnya. Duduk berdua saja denganmu, membicarakan apa saja denganmu, dan tertawa lepas bersamamu.
Di mataku, kau masih orang yang sama. Kau masih laki-laki yang pernah kusukai pertama kali di sekolah menengah pertama. Akupun masih sama saja. Aku masih mantan teman perempuan sekelasmu yang pernah diam-diam menyukaimu.
Kemarin-kemarin, aku juga masih menganggap kalau belum ada satupun yang berubah diantara kita. Tapi, kau mau tahu tidak? ternyata, aku salah.
Apa kau tahu? dari saat aku sadar aku menyukaimu, aku tidak pernah melihat kepada laki-laki lain. Karena apa? Karena kau satu-satunya laki-laki yang kuharapkan.
'Lalu?' Begitu tanyamu padaku.
Lalu hari itu datang. Hari ketika aku menitipkan surat pernyataan perasaanku pada sahabatku. Tapi ketika orang itu telah sampai dihadapanmu, dia palah mengaku padamu kalau surat itu adalah surat yang ditujukan darinya untukmu.
Jujur, saat melihat itu, aku sakit hati sekali.
Padahal, kau tahu? aku begitu mempercayai dia.
Lama aku tidak berbicara dengannya. Hubungan kami jadi buruk.
Aku yang tersakiti disini. Tapi tidak tahu kenapa palah aku yang harus minta maaf duluan padanya.
Aku memintanya untuk jujur padamu tentang semuanya. Tapi ketika semuanya telah jelas, kau palah tidak bisa memutuskan untuk memilih antara aku dan orang itu.
Itulah kenapa dulu aku memutuskan untuk menyerah memperjuangkanmu.
Aku tidak mau jadi pilihan. Jika kau dibingungkan dalam kondisi antara ingin memilih aku dan memilih orang lain, tolong jangan pilih aku.
Aku tidak bisa menerima hal itu.
Tapi kemudian, kau masih bertanya lagi padaku, bertanya kenapa. 'Kenapa? Kenapa begitu?'
'Katamu kau menyukaiku sejak lama?'
'Lagipula itu semua sudah jadi masa lalu.'
'Sudah saatnya bagi kita buat memulai cerita yang baru.' begitu katamu.
Awalnya aku juga berpikir begitu. Awalnya, aku juga mengira kalau aku masih memiliki perasaan itu. Tapi ketika kita sudah duduk berdua seperti ini, ngobrol berdua seperti ini, aku menyadari kalau perasaanku padamu, juga sudah jadi masa lalu.