Senin, 27 Juli 2015

Linguistik dan Masa Lalu


                                                         (Credit picture to the owner).

Linguistik. Aku agak sebel sama mata kuliah itu. Merumitkan suatu hal yang sebenarnya sederhana. Tapi aku kemudian ngerti kenapa aku sekarang disesatkan di kelas linguistik. Kadang-kadang, tanpa kita sadari, apa yang terjadi di masa sekarang atau yang akan datang adalah imbas dari kehidupan kita di masa lalu.
Dulu waktu aku kecil, setiap kali mudik lebaran, keluargaku pasti berhenti di banyumas buat istirahat.
Aku bener-bener penasaran dulu, kenapa sih namanya banyumas? Jadi, setiap jeda perjalanan mudik, aku sering jalan-jalan di sekitar tempat yang ada genangan airnya, seperti soloran dan kali. Mengamati setiap soloran yang bisa kutemui. Tapi, warna airnya sama aja tuh, bening. Nggak emas. Terus kenapa namanya banyumas? Aku tanya sama ibuku, kenapa namanya banyumas, ibuku cuma bilang emang udah kaya gitu dari sononya. Pas aku tanya sama bapakku, dia jawabnya mungkin ada cerita rakyat yang menceritakan kalo dulu di daerah situ ada sungai yang airnya berwarna emas.
Di mudik lain hari, aku masih kepikiran hal yang sama karena belum menemukan jawaban.
Jadi suatu saat aku nitip temenku yang udah sekolah buat beli kalung imitasi berwarna silver di bapak-bapak yang suka jualan mainan di sd-sd karena aku belum sekolah. Aku beli kalung itu buat melakukan percobaan pada air soloran di banyumas.
Waktu kita berhenti di banyumas, kebetulan kita istirahat di tempat yang deket soloran. Meski soloran, airnya terbilang bening.
Aku turun ke soloran itu, berusaha nyelupin kalungku ke airnya. Setelah mencelupkannya, aku menunggu lama. Tapi tidak ada yang terjadi. Warna kalungnya tetep silver, nggak berubah jadi emas.
"Kamu ngapain disitu? Ntar jatuh!" teriak ibuku yang baru menyadari keberadaanku di dekat soloran.
Aku menjawab dengan begonya, "Aku cuma penasaran aja bu, apa kalo aku nyelupin kalung ini ke air di banyumas, kalung silver ini warnanya bisa  berubah jadi emas?"
Aku nggak tau apa yang ibuku lakukan setelah mendengar perkataanku itu. Mungkin dia lari pulang ke rumah sambil nangis, "Ya Tuhan, kenapa kau anugerahi aku anak sebodoh dia? KENAPA??? KENAPA!!!"

      Aku suka mengamati sekitar, dan itu membuat kepalaku penuh dengan pertanyaan. Kenapa begitu? Kenapa begini? Kenapa seperti itu? Tapi kemudian, lingkungan mengguruiku bahwa kebanyakan orang risih dengan orang yang banyak bertanya sepertiku. Katanya, banyak tanya itu kampungan. Katanya, banyak tanya itu menunjukkan kebodohan. Sejak saat itu, aku jarang bertanya pada orang. Aku mulai bertanya pada angin yang berhembus dan rumput yang bergoyang #halah
Bukan, bukan, yang bener aku mulai bertanya sama google.
     Aku disibukkan dengan kehidupan. Aku bahkan lupa pernah tidak bisa tidur hanya karena memikirkan makna nama banyumas, tapi sebuah tulisan di buku linguistik membawa ingatan itu padaku kembali. Kata pelajaran linguistik, sifat bahasa adalah arbiter, nama banyumas adalah hasil kesepakatan dari beberapa pihak dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan materi.

Buruk Sangka Sama Allah



Waktu aku masih jauh lebih bodoh daripada sekarang, aku pernah buruk sangka sama Allah.
Itu adalah ketika aku sudah terombang-ambing sedemikian parah setelah ujian nasional dan palah berakhir di sebuah sekolah yang bisa ku judge sebagai 'the worst school i ever attend' (dengan terlebih dahulu mengumpulkan banyak acuan-acuan sampai aku bisa menyimpulkannya demikian).
Dengan bodohnya, aku pernah marah dan bertanya-tanya, kenapa Dia melakukan ini padaku?
Apa Dia ingin menghukumku karena aku seorang hamba yang pembangkang?
Di madrasah saja, aku seseorang dengan watak tidak terlalu patuh pada sistem sekolah dan sekarang? Ia palah menempatkanku di suatu tempat dimana rata-rata siswanya kurang bermoral (Kebanyakan, tapi nggak semuanya. Alhamdulliah temen-temen sekelasku kebanyakan orang baik-baik. Yang perempuan sih, aku nggak tau kalo yang cowok. Aku nggak bergaul sama mereka.)
Dia menempatkanku disuatu tempat yang sangat mendukung seseorang untuk menjadi orang yang buruk-menurut sudut pandang kebanyakan orang.
Kenapa Dia palah menempatkanku di tempat seperti ini?
Apa Dia sengaja?
Sengaja membiarkanku menjadi orang yang jauh lebih buruk dari yang dulu-dulu? Apa maksudnya melakukan ini? Apa dia sudah malas denganku?
Malas pada hamba yang tidak tahu diuntung sepertiku ini?
Aku mulai mempertanyakan banyak hal, tetang arti, mempertanyakan tentang apapun yang kujumpai dihidupku. Mempertanyakan orang lain, mempertanyakan diriku sendiri. Mempertanyakan segala yang kulihat, segala yang kurasakan, segala yang kulakukan, segala yang kudengar dan segala hal yang sedang terjadi.
Aku terus saja menganalisis segala sesuatunya secara berlebihan. Aku bahkan sengaja sering membolos sekolah hanya untuk berpikir dan merenung di pojok kamar pengapku.
Aku kesulitan dalam menentukan apa yang seharusnya jadi prioritasku dan apa yang sebaiknya kuurus di belakang. Aku dan kehidupanku--sungguh berantakan.
Aku selalu melakukan sesuatu tanpa pernah benar-benar mengerti apa yang sedang kulakukan, apa arti dari yang sedang kulakukan dan apa imbasnya jika aku melakukan hal itu.
Sebenarnya, aku sudah berada di suatu tempat dimana aku bisa belajar apa yang sebenarnya sudah ingin kupelajari sejak lama, komputer. Tapi karena aku merasa frustasi dengan hidupku dan merasa berada di tempat yang tak seharusnya, aku jadi menjalani semuanya dengan setengah hati. Aku berangkat sekolah hanya untuk membubuhkan tanda tangan di kertas absen, tak lebih. Aku masuk sekolah, kadang-kadang, tapi tak ada yang benar-benar masuk ke kepalaku. Ketika pelajaran, aku lebih suka menatap keluar jendela untuk melihat awan dan ketika waktunya mengumpulkan tugas, aku hanya menurun pekerjaan temanku saja. Otak di kepalaku telah lama macet entah sejak kapan, aku sendiri tidak sempat menyadarinya.
Aku hanya baru sadar sekarang jika aku lulus dari sekolah dengan predikat hanya sekedar lulus. Aku tak kompeten di bidang apapun yang pernah kupelajari disekolah.
Ya, aku hanya buang-buang uang orangtuaku disana dengan tidak mendapat apapun disana selain sebuah ijazah dengan nilai yang tak bisa dibilang membanggakan. Tapi aku mendapat banyak hal berupa pelajaran kehidupan yang bagiku jauh lebih berguna untuk kehidupanku daripada nilai-nilai akademis yang tertulis diatas selembar kertas yang kata orang bisa ditukarkan dengan kemapanan di masa depan jika aku mencetak angka-angka yang bagus disana. Aku mendapat pelajaran-pelajaran kehidupan yang membuat persepsiku tentang kehidupan berubah beratus-ratus derajat. Tidak seperti bayanganku di awal masuk sekolah, semua keburukan yang kujumpai di lingkungan sekolahku dulu palah mengajarkanku untuk menjadi orang yang lebih bijak dalam menyikapi hidup.
Aku mendapatkan pengalaman hidup yang kupikir--mungkin takkan kudapatkan jika aku berada di sekolah yang 'bener' versi kebanyakan orang.
Mengantri wudhu dan mengantri memakai mukena sekolah di jam-jam shalat duha dan dzuhur adalah pemandangan yang biasa di madrasah tsanawiyah. Tapi ketika aku smk, aku benar-benar kakaget dengan mushola sekolah yang selalu kosong. Ada juga masjid di dekat sekolah. Ada beberapa anak laki-laki yang pergi ke sana, bukan untuk shalat jumat berjamaah, tapi untuk merokok berjamaah.
Ada 240an anak lebih di angakatanku waktu itu. Belum anak-anak kelas 2? Kelas 3? Tapi tidak ada orang yang bisa aku dan temanku temui di sana selain pak guru elektronika yang terkenal alim itu. Ke mana orang-orang? Kenapa mereka seperti ini?
Karena di madrasah shalat adalah hal yang dilakukan semua orang, aku jadi tak bisa mengambil banyak pelajaran dari itu. Tapi ketika di smkku, shalat adalah sesuatu yang hanya dilakukan oleh segelintir orang disekolahku, aku jadi mendapat pelajaran, aku termasuk orang yang cukup beruntung karena Allah masih memberiku hidayah untuk menganggap shalat itu penting.
Aku jadi sedih, bahkan aku adalah orang yang seburuk ini, tapi Dia masih saja selalu peduli padaku. Peduli pada siswa-siswi disekolahku. Tidak peduli orang seberapa buruk apapun aku ini, Dia selalu disana, mengabulkan semua hal yang kuminta, menghindarkan segala hal buruk yang sekiranya bisa menimpaku, menjagaku dari pengaruh buruk lingkunganku dan mendengar semua keluhan yang kusampaikan padanya tanpa kutahu.
Dengan pengalaman langsung, aku jadi memahami tentang pepatah yang mengatakan, tidak semua hal buruk membawa kita pada kesedihan dan tidak semua hal baik membawa kita pada kebahagiaan. Satu hal yang begitu kusyukuri dari semua hal buruk yang telah kulalui, aku jadi menyadari jika ternyata, Dia adalah Tuhan terbaik yang pernah kupunya.