Sabtu, 26 September 2015

Penghianatan (Lagi)

Waktu aku kecil, bapaku sering ngajak aku ke suatu rumah seorang perempuan setengah baya di daerah kembaran. Meski aku sering main ke rumahnya, aku nggak tau sebenarnya dia itu siapa. Bibiku bukan, tetanggaku bukan, nenekku? Juga bukan (Jangan-jangan dia ibu peri). Bahkan saudara bapakku pun bukan.
Waktu aku udah agak gedean, aku baru tau kalo hubungan bapakku dengan dia adalah guru-murid. Bapakku ngajarin dia ngaji. Meski usianya udah setengah baya-an, dia baru mulai belajar ngaji. Seingatku, selama aku main disana aku nggak pernah tau sesi ngaji mereka. Mungkin karena aku sibuk sendiri dirumahnya.
Rumahnya sederhana, tapi teduh dan damai karena tumbuh-tumbuhan yang mengelilinginya.
Di depan rumahnya ada ada banyak bunga, yang sering aku petikin buat dibawa pulang (susahnya punya tangan jahil) (dasar tukang ngerusak).
Di setiap gawang pintu di rumahnya, ada tirai yang tersusun horizontal dari kerang-kerang kecil. Nggak lupa, aku juga minta beberapa kerangnya buat dibawa pulang hehehe. (Rampok aja semua yang ada dirumahnya fa -_- )
Selain karena dia sering ngupasin aku mangga yang manis, berlimpahnya bahan bacaan disana adalah sesuatu yang bikin aku mau buat diajak main ke sana. Di sudut kursi di ruang tamu, ada tumpukan koran yang menggunung. Saking banyaknya. Ini juga yang pada akhirnya bikin aku jadi orang yang suka baca. Aku selalu sempetin buat mengubrak-abrik koran disana. Dari sekian banyak koran, koran yang paling aku inget adalah koran yang ada gambarnya para pemain misteri ilahi indosiar. Entah kenapa itu jadi yang paling memorable di kepala. Mungkin gara-gara ada naga absurdnya.
Dia kepala sekolah. Jadi nggak heran kalo dia punya koleksi buku, majalah dan koran yang nggak sedikit. Waktu aku kecil, ketika aku menatap dia-entah dia sedang ngobrol dengan bapaku atau yang lainnya- aku tau ada sesuatu yang kuat dalam dirinya yang waktu itu aku nggak tau apa namanya. Belakangan aku tau apa yang dulu aku maksud sebagai sesuatu yang kuat dalam dirinya-feminisme. Feminisme begitu mengakar dalam dirinya. Mungkin itu jadi salah satu faktor yang membuat dia tidak menikah seumur hidupnya.
Rumahnya memang teduh dan damai, tapi ketika aku memasukinnya, tidak tahu kenapa perasaanku berubah. Rasanya hampa. Pengap. Dan kosong.
Mungkin karena rumah itu tidak ditinggali orang lain selain dia, tidak pernah ada anak-anak (selain aku), dan jarang ada pengunjung.
Untuk sebuah rumah yang hanya ditinggali sendiri, kamar di rumah itu terlalu banyak. Kalau tidak salah, ada sekitar empat, atau lebih.
Dia memutuskan untuk tidak pernah mempercayai laki-laki lagi dalam hidupnya setelah pernah dikecewakan.
Dia pernah pacaran dengan seorang laki-laki yang...hidupnya dimodalin sama dia. Bahkan dia membiayai kuliah laki-laki itu dan dia juga yang membayari buku-buku kuliahnya. Tapi apa yang dilakukan laki-laki itu setelah sukses? Laki-laki itu berhianat. Dia selingkuh. Kebenaran apa yang paling menyakitkan dari sebuah penghianatan? Tentang orang yang melakukannya. Penghianatan tidak pernah dilakukan oleh orang asing, tapi orang terdekat kita sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar