Sabtu, 27 Juni 2015

I Know That Feel, Bro!




Sebenernya aku nggak terlalu suka nulis. Tapi kalo aku nggak nulis, aku pasti bisa gila.
Sebenernya aku malu ketika tahu tulisanku dibaca orang lain.
      Misalnya, dulu waktu masih sd diaryku dibaca sama masku dan diceritain ke orang sekeluarga. Dan semua orang menertawakan tulisanku. Dititik itu aku bener-bener ngerasa malu dan pengen memutuskan untuk nggak usah nulis-nulis lagi. Padahal diarynya udah dikasih gembok, tapi sama dia, gemboknya dirusak.
Bapakku juga cerita ke mbakku kalau waktu aku kecil, dia pernah nemuin sobekan kertas di bawah lemari yang berisi tulisanku waktu dia lagi nyapu. Isi kertas itu tentang curhatanku kalau bapakku pilih kasih. Meski itu sudah belasan tahun yang lalu, anggapanku tentang itu tidak pernah berubah sampai sekarang, bagiku dia masih tetap pilih kasih.
Kemarin, waktu aku telepon ibuku, dia curhat tentang adekku yang baru keluar dari rumah sakit. Adekku itu emang udah suka nulis-nulis di sembarang kertas, dan setelah pulang dari rumah sakit, dia dikasih hadiah termasuk diary sama temennya bapakku. Disana, dia rutin curhat.
"Ibu baca tulisannya dia, lucu banget deh curhatannya. Dia suka nulis..." kata ibuku yang aku jawabi dengan oh, sebelum dia menyelesaikan perkataannya.
"kaya kamu..."
Deg! Dititik itu, rasa malu datang menyerangku lagi.
Sebelum ini, ibuku nggak pernah bilang kalo dia notice tulisan-tulisan acakku di buku-buku tulisku. Aku juga nggak pernah berpikir kalau dia bakal tau tentang itu.
Tapi wajar sih kalau dia tau, karena tulisanku bukan cuma ada di satu atau dua buku tulis, tapi sampe satu kardus lebih. Itu yang masih bisa aku buka-buka lagi di rumah, yang dulu-dulu, yang udah di loakin, mungkin udah di recycle dan jadi kertas-kertas kosong yang dijual di toko-toko kelontong lagi sekarang.
Entah ini hanya delusiku saja atau apa, tapi mereka, alphabet-alphabet itu terus saja mengganggu kedamaian hidupku. Mereka terus memasaku untuk menuliskan mereka. Tugasku hanya menulis, menggerakkan tanganku saja, karena yang sesungguhnya merangkai cerita adalah alphabet-alphabet itu, bukan aku. Meski begitu, ada hari-hari ketika aku malas, tidak mengikuti kemauan mereka dan memutuskan melakukan hal lain daripada menulis.
Ketika aku memutuskan untuk tidak mengikat mereka dalam tinta dan memenjarakan mereka diatas kertas-kertas, mereka seolah marah dan terus mendatangiku, seolah-olah aku pemburu hantu yang didatangi arwah-arwah penasaran yang dengan suka rela menyerahkan diri mereka padaku, bahkan memaksaku untuk membelenggu mereka disuatu tempat agar mereka abadi.
Aku jadi teringat sebuah film yang berjudul "Anonymus". Film itu berkisar tentang teori siapa sebenarnya Shakespeare itu. Dan di film itu, mereka mengambil teori yang menyatakan kalau Shakespeare adalah nama pena dari Edward, seorang dari kalangan kerajaan.
Disana, Edward sering dimarahi istrinya karena dia selalu duduk sepanjang hari hanya untuk menulis, menulis, dan menulis. Pada zaman itu, zaman Elisabethan, adalah hal yang tabu bagi seorang anggota kerajaan untuk menulis hal hal seperti naskah drama dan roman.
Dia mengatakan pada istrinya kalau dia sendiri juga tidak mengerti kenapa dia seperti itu. Jika dia berhenti menulis, huruf-huruf di kepalanya itu terus menghantui hidupnya sampai rasanya mau gila. Mereka terus memaksa untuk dituliskan.
Itu sama sekali bukan scenen yang sedih, tapi aku ingin menangis. Baru kali ini aku merasa ada orang yang mampu memahamiku. Jika aku bisa masuk kedalam layar notebookku, aku ingin masuk ke scene film itu, berdiri disamping Edward, menepuk pundaknya dan berkata, I KNOW THAT FEEL, BRO!

0 komentar:

Posting Komentar