Kamis, 16 Oktober 2014

Manuskrip Kehidupan



         
Kukira, ketika aku telah menjalani kehidupan yang benar-benar kunginkan , aku akan jadi orang yang bahagia. Aku memilih sastra inggris karena kupikir, aku benar-benar menyukainya dan aku akan bahagia ketika harus menjalaninya untuk waktu yang cukup lama. Dua tahun, tiga tahun, empat tahun, atau bahkan lebih. Tapi nyatanya, hidup memang tak pernah seindah kelihatannya. Aku tetap saja begini. Menjalani hari demi hari dengan perasaan kosong. Isi hidupku hanya tentang rutinitas yang lebih terkesan sebuah paksaan dari pada sebuah kehidupan. Hidupku sedang benar-benar jatuh. Aku merasa tidak sanggup, bahkan untuk hanya sekedar berdiri. Oke. Sudah cukup melodrama lebay nya. Intinya aku Cuma lagi pengen banget pulang kampung. Walopun aku udah sering banget telpon kerumah, nanyain kabar ibuku, kabar bapakku, kamarku, peliharaan-peliharaanku, pacar temenku, gebetanku  #lho tapi tetep aja, itu semua nggak cukup untuk meredam keinginanku pulang kampung.
Waktu aku mengutarakan keinginanku ke bapakku, jawabannya sungguh mematahkan hatiku dan membuatku ingin menyudahi hidupku sampai sini saja #alay
“Lebih baik jangan pulang dulu, Ndu.” What? Are you kidding me, dad?
Kenapa? Kenapa kau menghadirkanku ke dunia ini jika kau tak menginginkan keberadaanku? *lebaynajis*
          Aku melangkah keluar kamar dengan gontai. Merenung didepan balkon kamar kosan. Menatap nanar pada langit mendung. Menatap nanar pada tukang bakso yang berlalu dengan gantengnya didepan kosan. Ingin menghampirinya tapi apalah daya, dompet ini tak mampu. #LagiKere #MakanyaPengenPulkam #MauNgerampokRumahSendiri
          Pas aku tanya apa alasannya, bapakku Cuma jawab,” Kamu belum boleh pulang kerumah kalo belum 40 hari disana.” Lho? Aku masih hidup lho ini? Aku bukan arwah gentayangan yang musti di40-hariin, di100hariin, disetahun-in dulu sebelum pulang kerumah.
Kenapa harus 40 hari sih?
Bapakku jawabnya, ”Karena 40 hari adalah gerbang menuju kesuksesan ndu. InsyaAllah.”Aku sempet mikir jangan-jangan ini Cuma alesan biar aku nggak manja dan minta pulang mulu tiap minggu. Aku agak kecewa awalnya, karena aku bener-bener lagi down dan kepengen menenangkan diri dirumah.
Tapi yasudahlah, aku bisa apa selain patuh sama keinginannya.
          Aku udah pernah bilang, aku orang yang butuh alasan untuk sesuatu yang terjadi di hidup ini. Makanya, aku suka nanya dan bapakku suka memberi jawaban yang gaje.
Misalnya waktu itu aku nanya ke adekku, dia ikut tapak suci, aku penasaran,”Kenapa namanya harus tapak suci?”Adekku palah jadi ikut bingung dan kepikiran,”oiya, kenapa tapak suci ya?” Terus bapakku yang entah datang dari mana tiba-tiba nyeletuk,
“Ya tapak suci lah, masa mau tapak kotor?”Oke, oke, jawabannya bener. Tapi itu gak disertai dengan hipotesa-hipotesa yang kuat untuk mendukungnya#sotoy
Walau begitu, aku tetap mempercayainya. Mempercayai semua kata-katanya.          Waktu aku di sekolah dasar, aku pernah berada di posisi yang sedang kurasakan lagi di perkuliahan. Aku merasa aku orang yang paling bodoh diantara semuanya. Dan untuk menghiburku, bapakku membekali sebuah doa. Katanya, aku harus membaca doa itu setiap kali mau berangkat sekolah.” Kalau kamu baca doa ini. Kamu bakal dapet nilai sempurna.” Sekarang aku tahu, itu hanya sebuah sugesti agar aku semangat dalam menjalani hidupku. Meski tak benar-benar terbukti khasiatnya, aku masih terus membaca doa itu, sejak aku berangat sekolah ke Mi bahkan sampe sekarang, saat aku berangkat kuliah. Aku hanya merasa ada yang kurang ketika aku tidak membaca doa itu.
          Yaudah sih, dari pada stress mikirin kepengen pulang kampung tapi belom boleh, akhirnya aku cuman menghabiskan waktu ku buat baca-baca buku di kosan. Ada satu buku bagus karya Og Mandino yang Judulnya The Greatest Secret In The World. Dibuku itu, ada satu bab yang nyambung dengan masalah yang sedang melanda hidupku.
Isinya gini,

0 komentar:

Posting Komentar