Kukira, ketika aku telah menjalani kehidupan yang benar-benar
kunginkan , aku akan jadi orang yang bahagia. Aku memilih sastra inggris karena
kupikir, aku benar-benar menyukainya dan aku akan bahagia ketika harus menjalaninya
untuk waktu yang cukup lama. Dua tahun, tiga tahun, empat tahun, atau bahkan lebih.
Tapi nyatanya, hidup memang tak pernah seindah kelihatannya. Aku tetap saja begini.
Menjalani hari demi hari dengan perasaan kosong. Isi hidupku hanya tentang rutinitas
yang lebih terkesan sebuah paksaan dari pada sebuah kehidupan. Hidupku sedang benar-benar
jatuh. Aku merasa tidak sanggup, bahkan untuk hanya sekedar berdiri. Oke. Sudah
cukup melodrama lebay nya. Intinya aku Cuma lagi pengen banget pulang kampung. Walopun
aku udah sering banget telpon kerumah, nanyain kabar ibuku, kabar bapakku, kamarku,
peliharaan-peliharaanku, pacar temenku, gebetanku #lho tapi tetep aja, itu semua nggak cukup untuk
meredam keinginanku pulang kampung.
Waktu aku mengutarakan keinginanku
ke bapakku, jawabannya sungguh mematahkan hatiku dan membuatku ingin menyudahi hidupku
sampai sini saja #alay
“Lebih baik jangan pulang
dulu, Ndu.” What? Are you kidding me, dad?
Kenapa? Kenapa kau menghadirkanku
ke dunia ini jika kau tak menginginkan keberadaanku? *lebaynajis*
Aku melangkah keluar kamar dengan gontai. Merenung didepan balkon
kamar kosan. Menatap nanar pada langit mendung. Menatap nanar pada tukang bakso
yang berlalu dengan gantengnya didepan kosan. Ingin menghampirinya tapi apalah daya,
dompet ini tak mampu. #LagiKere #MakanyaPengenPulkam #MauNgerampokRumahSendiri
Pas aku tanya apa alasannya, bapakku Cuma jawab,” Kamu belum
boleh pulang kerumah kalo belum 40 hari disana.” Lho? Aku masih hidup lho ini? Aku
bukan arwah gentayangan yang musti di40-hariin, di100hariin, disetahun-in dulu sebelum
pulang kerumah.
Kenapa harus 40 hari sih?
Bapakku jawabnya, ”Karena
40 hari adalah gerbang menuju kesuksesan ndu. InsyaAllah.”Aku sempet mikir jangan-jangan
ini Cuma alesan biar aku nggak manja dan minta pulang mulu tiap minggu. Aku agak
kecewa awalnya, karena aku bener-bener lagi down dan kepengen menenangkan diri dirumah.
Tapi yasudahlah, aku bisa
apa selain patuh sama keinginannya.
Aku udah pernah bilang, aku orang yang butuh alasan untuk sesuatu
yang terjadi di hidup ini. Makanya, aku suka nanya dan bapakku suka memberi jawaban
yang gaje.
Misalnya waktu itu aku nanya
ke adekku, dia ikut tapak suci, aku penasaran,”Kenapa namanya harus tapak suci?”Adekku
palah jadi ikut bingung dan kepikiran,”oiya, kenapa tapak suci ya?” Terus bapakku
yang entah datang dari mana tiba-tiba nyeletuk,
“Ya tapak suci lah, masa
mau tapak kotor?”Oke, oke, jawabannya bener. Tapi itu gak disertai dengan hipotesa-hipotesa
yang kuat untuk mendukungnya#sotoy
Walau begitu, aku tetap
mempercayainya. Mempercayai semua kata-katanya. Waktu
aku di sekolah dasar, aku pernah berada di posisi yang sedang kurasakan lagi di
perkuliahan. Aku merasa aku orang yang paling bodoh diantara semuanya. Dan untuk
menghiburku, bapakku membekali sebuah doa. Katanya, aku harus membaca doa itu setiap
kali mau berangkat sekolah.” Kalau kamu baca doa ini. Kamu bakal dapet nilai sempurna.”
Sekarang aku tahu, itu hanya sebuah sugesti agar aku semangat dalam menjalani hidupku.
Meski tak benar-benar terbukti khasiatnya, aku masih terus membaca doa itu, sejak
aku berangat sekolah ke Mi bahkan sampe sekarang, saat aku berangkat kuliah. Aku
hanya merasa ada yang kurang ketika aku tidak membaca doa itu.
Yaudah sih, dari pada stress mikirin kepengen pulang kampung
tapi belom boleh, akhirnya aku cuman menghabiskan waktu ku buat baca-baca buku di
kosan. Ada satu buku bagus karya Og Mandino yang Judulnya The Greatest Secret In
The World. Dibuku itu, ada satu bab yang nyambung dengan masalah yang sedang melanda
hidupku.
Isinya gini,